Sunday, July 30, 2006

Bencana, CSR dan Soros








oleh: Michael YUDHA Winarno


SEMBURAN gas dan lumpur panas di sekitar kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas, Sidoarjo, Jawa Timur jelas bukan bencana alam [natural disaster]. Bencana ini timbul akibat ulah manusia [human-made disaster] dari aktivitas pengeboran yang dampaknya tidak kalah mengerikan dibandingkan bencana alam. Selain menyebabkan bencana lingkungan hidup, gangguan kesehatan dan kerugian ekonomi satu milyar per hari [Kompas, 13/06/06] bencana ini juga menegaskan bahwa manajemen penanganan bencana masih mandul. Baik perusahaan, pemerintah maupun masyarakat ternyata sama sekali tidak dapat belajar atas kasus-kasus maha bencana alam yang dalam dua tahun terakhir ini menghajar Republik tercinta.

Pelajaran utama yang dapat dipetik dari bencana gas dan lumpur panas ini adalah soal tanggung jawab sosial perusahaan alias CSR [Corporate Social Responsibility]. Lima belas hari berlalu tanpa upaya komprehensif penanggulangan bencana jelas mengindikasikan tidak adanya skenario kesiapsiagaan bencana [disaster preparadness] sejak fase awal kemunculan lumpur panas. Sebuah keanehan mengingat bisnis pertambangan sudah pasti menuntut tanggung jawab maha besar terkait dengan lingkungan hidup dan keberadaan masyarakat atau komunitas di sekitar lokasi bisnis. Sehingga tidak bekerjanya regulasi, perangkat dan metode siap siaga bencana dalam kasus ini sebenarnya tidak bisa diterima oleh akal sehat. Lalu mengapa soal CSR ini bisa menjadi mandul?

Jas Merah CSR

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” demikian pesan Bung Karno. Maka ada baiknya kita telusuri sejarah perkembangan CSR di periode awal kelahirannya. Pada mulanya adalah abad ke-16. Situasi dimana kekuasaan gereja mulai kehilangan dominasinya atas kehidupan sosial kemasyarakatan dan diambil alih oleh peran negara. Otomatis berpindah pula tanggung jawab sosial tersebut ke tangan negara. Tetapi hukum alam menggariskan bahwa yang kekal di dunia fana ini adalah perubahan. Maka sejak abad ke-21 institusi bisnis atau korporasi menjadi kandidat pemegang kendali atas tanggung jawab sosial selanjutnya.

Setelah Perang Dunia II, Amerika menjadi satu-satunya kekuatan ekonomi yang dominan. Pemerintah US mengajak partisipasi korporasi Amerika untuk berperan dalam program pemulihan ekonomi Eropa dengan melakukan investasi luar negeri secara langsung. Dari sinilah korporasi transnasional Amerika muncul dan menjadi simbol kekuatan ekonomi Amerika. Jelas internasionalisasi modal Amerika memberi keuntungan kembali bagi Amerika.

Dan embrio CSR lahir ketika di tahun 1960-1976 negara-negara berkembang bersama western union dan aktivis sosial menyerukan perlunya suatu “New International Economic Order” yang akan mengatur lebih ketat aktivitas korporasi transnasional. Apalagi ketika Presiden Chili, Salvador Allende, delapan bulan sebelum kematiannya mengingatkan sidang umum PBB bahwa pemerintahannya yang telah terpilih secara demokratis akan digulingkan oleh korporasi trans-nasional Amerika, ITT [International Telegraph and Telephone Company] dengan dukungan CIA. Allende mengaku memiliki dan siap membeberkan dokumen berisi 18 rencana aksi ITT dan CIA. Kesaksian tersebut menggemparkan dunia usaha Amerika. Ketidakpercayaan publik atas korporasi meluas ke setiap ujung bumi. Dan ditambah dengan skandal korporasi tingkat tinggi dalam tubuh Enron & World Com serta gerakan demonstarasi masal anti globalisasi sejak 1998 sampai sekarang, CSR semakin menemukan landasan moralnya. Tuntutan publik akan regulasi yang ketat bagi korporasi juga semakin besar.

Menurut Joel Makower dalam Business for Social Responsibility [1994], CSR atau bisnis yang mengutamakan tanggung jawab sosial disajikan sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis dan kepentingan masyarakat tanpa melibakan intervensi pemerintah lebih jauh ke dalam ruang pasar global. Artinya, CSR diharapkan mampu mencapai sukses komersil dimana penghormatan atas nilai-nilai etik dan penghargaan akan martabat manusia, komunitas dan lingkungan hidup dijunjung tinggi. Berangkat dari premis dasar korporasi bahwa semua perusahaan pasti memproduksi dampak sosial dan gangguan lingkungan hidup, maka orientasi mencari keuntungan melulu yang diukur dengan nilai uang tanpa memperhatikan keseimbangan kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup dalam perspektif CSR adalah kegagalan korporasi itu sendiri.

“Hukum CSR” inilah yang rupanya dipegang teguh oleh raksasa korporasi Wal-Mart. Maka tak heran meski telah menjadi raja bisnis dunia, Wal-Mart masih saja berinovasi dengan membuat sebuah rencana strategis yang visioner. Dalam sebuah ceramah bisnis paling penting pada 24 Oktober 2005 lalu, Lee Scott, CEO Wal-Mart menegaskan bahwa perusahaannya berkomitmen pada dunia “to making zero waste”. Artinya, Wal-Mart akan menggunakan 100% energi yang dapat diperbaharui dan menjual produk-produk berkelanjutan. Kecerdasan Lee rupanya berpijak pada keyakinan dan prinsipnya dalam berusaha, ”No CEO wants to hurt society or leave a legacy of environmental destruction,” katanya.

Sayangnya, hampir sebagain besar korporasi di Indonesia belum menjalankan prinsip-prinsip CSR yang sesungguhnya. Yang terjadi sesunguhnya baru sebatas pada fenomena “CSR Peduli”. Yaitu aktivitas reaktif dan latah dengan membuka posko peduli atau berduyun-duyun membagikan paket bantuan sembako dan memberi layanan kesehatan di wilayah bencana. Tentu saja dengan kampanye iklan di media massa dengan harapan mendapatkan citra positif perusahaan. Kegiatan Public Relations seperti ini memang tidak menyalahi prinsip solidaritas kemanusiaan tetapi menjadi aktivitas artivisial belaka dalam konteks CSR. Fenomena CSR Peduli ini ibarat orang kaya yang kikir dengan hanya melempar sekeping uang seratus perak pada pengemis yang meratap di gerbang mewah rumahnya. Masih lebih heroik aksi Robinhood yang menjarah harta istana dan membagikannya kepada orang miskin korban ketidakadilan dan pemerasan pajak.

Filsafat Soros

Kasus lumpur panas di wilayah kerja PT Lapindo Brantas membuka borok korporasi Indonesia. Selain dungu dan malas belajar dari sejarah, korporasi Indonesia rupanya juga mengalami rabun jauh dalam hal merumuskan perencanaan strategis. Barangkali karena watak kolonial warisan VOC-Belanda terlanjur menyusup ke darah daging, maka korupsi di tubuh korporasi - terutama korporasi milik negara - justru menjadi satu-satunya jamu kenikmatan yang terus diteguk sepanjang waktu. Jadilah perjamuan korupsi itu menyingkirkan jauh-jauh masalah tanggung jawab perusahaan pada lingkungan dan masyarakat, masa bodohlah dengan CSR.

Lain halnya dengan George Soros, mega milyuner dan filantropis keturunan Yahudi ini justru memakai uang untuk mempraktekkan keyakinan filosofisnya. Memang kontradiktif jika dirinya mengecam kapitalisme sedangkan hartanya berhasil dikumpulkan karena sistem kapitalis yang menguntungkannya. Tetapi niatnya untuk menjadi kaya setelah selesai berguru pada Karl Popper dan kehendak untuk mewujudkan impian filosofisnya, terbentuknya masyarakat dunia yang terbuka, ternyata menegaskan bahwa filsafat membutuhkan dana yang sangat besar. Orang boleh suka atau membencinya, tetapi untuk cita-cita mulia ini Soros patut mendapat acungan jempol.

Komitmen Soros mengucurkan separuh dari kekayaannya sebagai bentuk tanggung jawab sosial korporasinya demi perubahan masyarakat, komunitas dan lingkungan yang lebih baik dengan menawarkan gagasan “Masyarakat Terbuka” merupakan suatu bentuk CSR yang tidak hanya mutakhir tetapi sekaligus visioner-populis. Hakekat filsafat itulah yang mendorong Soros melalui jaringan filantropi internasional Open Society Institute di 50 negara mengeluarkan lebih dari 400 juta dollar per tahunnya. Belum termasuk hibah pada kampus yang didirikannya, Central European University di Budapest.

Soros sendiri meyakini bahwa jika kita peduli akan prinsip-prinsip universal seperti kebebasan, demokrasi dan supremasi hukum, maka kita tidak mungkin menyerahkan soal ini ke tangan kekuatan-kekuatan pasar. Kita harus membuat beberapa lembaga lain untuk menjaga kelestariannya. Inilah salah satu dasar CSR yang menjadi komitmen moral, buah dari refleksi kritis filsafatnya yang dulu dipelajari di London School of Economics.

“Barangkali ancaman terbesar terhadap kebebasan dan demokrasi di dunia sekarang berasal dari kolusi haram antara penguasa dan pengusaha,” katanya dalam “Open Society, Reforming Global Capitalism” yang buku terjemahan Indonesia-nya telah diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Sisi positif dari Soros inilah yang harus menjadi pelajaran bagi kita semua. Sehingga saling tuding dan lempar tanggung jawab antara menteri, departemen, pengusaha dan pemerintah lokal tempat di mana bencana lumpur panas Sidoarjo menyerang tidak perlu terjadi. Tetapi barangkali karena mereka adalah para penggemar cerita wayang dengan adegan klasik lempar batu sembunyi tangan sementara udang telah menunggu di balik batu, maka bencana kali ini pun tidak mendapatkan atensi yang sungguh-sungguh serius.

Mudah-mudahan, minimal karena keyakinan bahwa masih ada segelintir orang baik di negeri ini, harapan akan kesediaan korporasi Indonesia untuk segera mengembangkan metode dan perangkat CSR yang mumpuni segera terwujud. Semoga saja mereka tidak melulu sibuk mengejar target mendapatkan “CSR Award” dan mengabaikan dasar filosofis CSR yang visioner. Sebab suatu rencana strategis di belakang program-program CSR bisa jadi akan memberi kontribusi bagi pengurangan kemiskinan dan ketidakadilan sosial di Republik ini. Dua masalah utama yang harus segera dihapus bersama agar martabat orang Indonesia tegak berdiri. [*]

Thursday, July 27, 2006

Sosialisme Akar Rumput dari Kualakerto



* Michael YUDHA Winarno *


IBARAT kutub sebuah magnet yang saling tolak-menolak, demikian gambaran relasi sosial antara manusia yang sehat dengan mereka yang menderita penyakit kusta. Lebih ekstrim lagi, konon penyakit kusta yang susah disembuhkan itu adalah buah kutukan Tuhan atas manusia pendosa. Sebab itu Si Kusta wajib hukumnya untuk dijauhi, di-persona nongrata-kan oleh dan dari masyarakat.

Maka munculah kampung-kampung khusus orang kusta atau sebagaimana dikisahkan dalam BEN-HUR, film kolosal berdurasi 212 menit peraih 11 Piala Oscar [Academy Award] di tahun 1959, para penderita kusta itu harus tinggal dalam gua-gua di sebuah lembah jauh dari pemukiman bangsa Romawi. Demikian imajinasi akan kusta terus menjadi hantu bagi masyarakat modern. Ia menjadi penyakit yang ditakuti di muka bumi. Kaum kusta, oleh karena penyakit dan kemiskinan yang mengiringi kehidupan mereka lalu diposisikan sebagai warga kelas paling bawah. Mereka tidak mendapatkan tempat dalam hati kita, masyarakat.


Kisah Kualakerto

Tetapi jauh dari masa lampau, di Kualakerto Barat, sebuah gampong yang luluh lantak dihempas tsunami 2004 lalu, hantu kusta itu berhasil diusir. Barangkali inilah salah satu berkah dari bencana. Di halaman sebuah meunasah, pagi itu suka cita dan keramahan warga gampong membaur satu sama lain tanpa sekat pembatas tanpa jarak di antara mereka. Malah sejumlah warga penderita kusta bebas berinteraksi dengan warga lainnya. Wajah-wajah kaum kusta itu justru terlihat yang paling happy. Betapa tidak, sebab 52 unit rumah baru akan segera dibangun untuk para keluarga penderita kusta. Adalah CORDIA bekerja sama dengan Caritas Jerman yang hadir sebagai saudara menjawab keprihatinan memfasilitasi kebutuhan mereka.


Menandai peletakan batu pertama bagi proyek pembangunan 52 unit rumah tipe 42 tersebut, seekor lembu dipersembahkan sebagai kurban diiringi ritual doa, pemberian sesaji dan percikan air pada batu-tanah galian fondasi rumah. Ureng Aceh menyebutnya sebagai ritual adat Peusijuk Rumoh. Dan Muhammad Yusuf [35] beserta istri tak dapat menyembunyikan senyumnya manakala komite desa memutuskan bahwa rumah merekalah yang akan dibangun pertama kali. Keduanya adalah pasangan kusta yang telah menikah selama lima tahun dan dikaruniai seorang anak. Sayangnya, tsunami telah merenggut satu-satunya buah hati mereka.


”Senang Pak, saya senang sekali, terima kasih, kami senang Pak,” demikian ungkapan tulus seorang Yusuf yang ditemani istri tercintanya, Adenia, menanggapi dimulainya proyek pembangunan rumah di Kualakerto Barat, gampong kusta di Kecamatan Samudra, Aceh Utara. “Dulu [sebelum tsunami] kami kerja membuat tikar pandan, ukuran 1,5 x 6 meter kami jual tigapuluh ribu, sekitar seminggu bisa kami selesaikan. Tapi sekarang tidak ada lagi, pohon sudah habis kena tsunami, bahan tidak ada, modal tidak ada. Untuk makan sehari-hari kami masih dapat bantuan sembako. Tapi kami mau kerja lagi, Pak, tapi kami tidak punya modal dan tak tau harus kerja apa,” cerita Yusuf menyatakan keprihatinannya.


Kaum kusta di Kualakerto ini memang memiliki semangat hidup yang tinggi. Rasa percaya diri mereka semakin tumbuh ketika warga setempat bisa menerima kehadiran mereka. Sebagian warga di gampong terdekat bahkan menjadi pelanggan setia manakala mereka butuh ikan. “Orang-orang biasa beli ikan sama saya, dari gampong sebelah juga. Saya beli ikan langsung dari laut [nelayan yang pulang melaut] jadi ikannya masih segar,” ungkap Mardjuki, pedagang ikan penderita kusta. “Saya senang punya pekerjaan tapi hasilnya masih pas-pasan. Apa Bapak mau bantu modal?” tanyanya kepada CORDIA.


Di Kualakerto Barat, tsunami jelas membawa perubahan positif dalam masyarakat. Ibu-ibu dan anak perempan kini bebas menyatakan pendapatnya dalam rapat-rapat gampong, hal yang mustahil ditemui dalam kultur muslim yang paternalistik, dimana perempuan harus tunduk pada kaum Adam. Dalam rapat-rapat bersama komite desa, kaum kusta memiliki hak yang sama untuk menentukan rancangan rumah. Mereka duduk bersama, berdiskusi, berdebat, menyelesaiakan masalah dan berbagi gagasan tentang bagaimana sebaiknya gampong mereka dibangun kembali dengan lebih baik.


“Saya ikut hadir kalau ada rapat komite, senang rasanya bisa bicara bersama warga lainnya. Kami juga menggambar peta gampong bersama-sama tapi saya biasanya diam saja jika ada orang yang berdebat. Biasanya yang laki-laki itu kalau bicara lama dan susah distop,” komentar Adenia, penderita kusta yang pernah bekerja sebagai penganyam tikar pandan. Solidaritas, persamaan hak dan kesetaraan nilai sebagai manusia dihormati bersama sehingga para penderita kusta yang dulu ditolak keberadaannya dalam masyarakat, kini dapat hidup berdampingan sebagai sesama warga gampong. Inilah sebagian dari buah kerja-kerja rekonstruksi paska tsunami dengan pendekatan community action plan atau CAP.


Komunitas Kusta

Di Indonesia sendiri jumlah penderita kusta mencapai 14.540 orang atau hampir di bawah 1 per 10 ribu penduduk. Menurut laporan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari awal Desember 2005 lalu, masih ada 12 provinsi yang menjadi tempat penularan [terjangkitnya] penyakit lepra atau kusta, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, dan Papua. Pada tingkat dunia, Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara terbanyak penduduknya yang mengidap penyakit kusta setelah India dan Brazil.


Ketakutan masyarakat terhadap penyakit kusta memang beralasan sebab terbatasnya informasi yang tepat tentang jenis penyakit ini. Padahal, penyakit yang disebabkan oleh kuman Microbacterium Leprae ini dapat disembuhkan apabila penderita mendapat pengobatan sejak awal. Umumnya, gejala awal penyakit ini ada dua macam. Untuk jenis kusta kering atau tipe Paucibacillary [PB] biasanya ditandai dengan munculnya bercak putih seperti panu. Bercak putih ini tidak menimbulkan rasa gatal dan tidak terasa ketika disentuh [mati rasa].


Sedangkan tipe kedua biasa disebut kusta basah atau Multibacillary [MB] ditandai dengan adanya penebalan kulit atau benjolan kecil yang berwarna kemerahan yang lama-kelamaan akan mati rasa juga. Kusta jenis kedua inilah yang dapat menular bila tidak segera diobati. Sekarang bila seseorang terinfeksi penyakit ini bisa mendapatkan pengobatan gratis di rumah sakit terdekat dan untuk masa inkubasinya bisa mencapai dua hingga lima tahun, bahkan bisa mencapai 40 tahun.


Lain Indonesia lain pula Kualakerto. Meskipun perkampungan atau “panti kusta” bertebaran di sejumlah propinsi sebagaimana tersebut di atas, Kualakerto memiliki cara dan strateginya sendiri dalam memberdayakan dan mengembalikan martabat orang kusta. “Tempat-tempat seperti panti cenderung justru menjauhkan penderita kusta dari masyarakat. Di Lao Simomo dekat Kabanjahe saya melihat petunjuk jalan ke arah perkampungan orang kusta. Bagi saya tanda itu bermakna sebaliknya, jauhi tempat ini, kan begitu,” ujar Heinrich Terhost, perwakilan Caritas Germany di Banda Aceh dalam sebuah pembicaraan dengan CORDIA. Menurutnya, sebisa mungkin penderita kusta dikembalikan ke tengah masyarakat paska rehabilitasi. Artinya jika penyakit itu sudah sembuh dan penderita memiliki kemampuan untuk bekerja.


Kini rekonstruksi partisipatif di gampong kusta Kualakerto Barat sedang berjalan dan dibangun dengan konsep terbuka. Ia tidak dibuat terpencil dan tersembunyi jauh dari pemukiman masyarakat. Ia adalah gampong sebagaimana umumnya desa-desa di Indonesia. Ia memiliki pasar, tempat ibadah, puskesmas, gedung serbaguna, taman bermain bagi anak, lahan pertambakan, jalan penghubung antar gampong dan fasilitas umum lainya yang semuanya menyatu dan berdekatan dengan rumah-rumah yang sedang dibangun bagi para penderita kusta.


Oleh karena tsunami jugalah keterbukaan warga gampong di pinggir selat Malaka itu semakin terasa. Kekerabatan, sapaan, persaudaraan, solidaritas dan interaksi antarwarga begitu cair dan tidak lagi mengenal perbedaan status sosial, agama, suku atau kondisi fisik yang kurang sebagaimana dirasakan para penderita kusta sebelum amuk gelombang raksasa itu terjadi.


“Jangan lupakan kami ya, Pak,” kata Mardjuki singkat ketika CORDIA berjabat tangan denganya hendak meninggalkan Kualakerto. Sebuah pesan sederhana tulus dan begitu menyentuh hati. Benarkah kita sebagai masyarakat selama ini telah melupakannya?
Apa jawab kita kepada Si Kusta sesama kita?* * * [mYw]

Tanah Simpang Semadam, Longsoran Duka Negeri Pengungsi


* Michael YUDHA Winarno *


Kantung mata Kalpin HT Gaol tampak cekung menghitam, sorot matanya redup dan pandangannya menerawang entah tertuju ke mana. Seluruh tubuhnya dibungkus pakaian hitam lusuh dengan tambal sulam pada beberapa bagian. Tapak kakinya berteman sandal jepit kumal berjalan gontai perlahan. Sepintas pandang ia mirip mayat yang bangkit dari kubur.


Petani tamatan sekolah dasar itu terlihat di antara seratus lima puluh kepala keluarga pengungsi yang antre menerima bantuan sembako yang sedang digelar CODIA di halaman Paroki Lawe Desky, Aceh Tenggara, saat libur Idul Fitri awal November lalu. Bersama lebih dari delapan ratus keluarga lainnya yang tinggal di wilayah Simpang Semadam, Kalpin berusaha menerima kenyataan yang telak membuat dirinya tersungkur. Kehilangan rumah dan harta benda, meski berat, barangkali bisa direlakan pada akhirnya. Tetapi kehilangan istri tercinta, Arlina Br Sianipar [28 tahun] dan Maria [5 tahun] gadis cantik buah hatinya bersama si bungsu yang lucu Ari [3 tahun] dalam waktu bersamaan jelas menjadi kenyataan yang begitu berat dihadapi.

Gulita malam mimpi buruk yang dirobek oleh raksasa lidah api dari sebuah kilang padi pertengahan Oktober lalu nyata masih jelas dirasakannya. Menyusul serbuan mendadak tanah longsor dari atas perbukitan. Bahkan meski tigapuluh hari telah berlalu. Trauma masih menghantui hari-hari Kalpin dan membuat dirinya semakin kurus hanyut dalam stress berkepanjangan. Ia bahkan tak mampu bercerita banyak tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana situasi saat longsoran tanah batu lumpur bercampur gelondongan kayu meluncur cepat ibarat air terjun yang ganas menghajar dan melumat rakus segala rupa mahkluk dan barang yang ada di bawahnya. “Maaf Pak, istri dan dua anak saya meninggal, rumah harta benda hilang, saya tak tahu mau apa lagi, saya hanya petani biasa, semua habis, saya senang Bapak datang memberi bantuan tapi saya tidak bisa cerita, saya masih trauma, saya ingin sendirian dulu,” ujarnya lirih kepada CORDIA yang mengajaknya bercerita.

Kini, pemukiman padat itu rata oleh tanah. Hampir empat ribu jiwa menjadi pengungsi dan 844 keluarga kehilangan rumah beserta seluruh harta benda mereka. Ratusan anak sekolah terpaksa menambah hari libur lebaran mereka sebab tiga sekolah tempat mereka belajar hilang ditelan tanah longsor. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat memang telah memberikan bantuan darurat berupa tenda, sembako, layanan medis, dan air bersih. CORDIA sendiri sebagai anggota Caritas Internationalis membagikan famili kits berupa paket beras, ikan sarden, mis instant, susu, biskuit, air mineral dan selimut. “Bantuan CORDIA ini merupakan paket bantuan terlengkap dan terbanyak yang diterima keluarga pengungsi dibandingkan bantuan dari NGO lain. Tapi yang tak kalah penting juga memperhatikan nasib anak-anak dan bagaimana sekolah mereka setelah bencana ini,” ujar Sitohang, kepala sekolah SMP St. Joseph yang bertindak sebagai koordinator posko lapangan untuk distribusi bantuan.

Perihal distribusi bantuan bukannya tanpa masalah, banyak keluarga pengungsi yang belum tersentuh bantuan sama sekali. Kalaupun mereka mendapatkan bantuan, jumlahnya sangat minim jika dibandingkan dengan keluarga pengungsi lainnya. Ada diskriminasi dalam proses distribusi bantuan. Pemerintah setempat rupanya lebih memperhatikan keluarga pengungsi dari umat beragama mayoritas. “Dua minggu setelah kejadian ada truk besar penuh muatan barang bantuan dari NU [Nahdlatul Ulama]. Truk tersebut sudah siap menurunkan dan membagi muatannya di tempat kami, tetapi seseorang tiba-tiba memerintahkan truk itu pergi dan membawanya ke tempat lain sambil mengatakan bahwa ini daerah Kristen, bantuan jangan dibagikan di sini,” ujar Yetieli Zaboto, Sekretaris Desa Lawe Tua.

Hal senada juga dibenarkan oleh Pendeta Lambok Gurning dari Gereja HKBP Simpang Semadam. “Sebelum bencana ini terjadi hubungan antar pemeluk agama di daerah ini tidak ada masalah, tapi gara-gara diskriminasi distribusi bantuan bencana, kami rasakan mulai ada ketegangan hubungan antarumat bergama. Bahkan ada informasi yang beredar di kalangan pengungsi bahwa akan ada relokasi warga berdasarkan agama,” katanya saat ditemui CORDIA di lokasi bencana. Jika bantuan yang diberikan dari luar kepada pengungsi justru menimbulkan masalah baru dan kerentanan sosial, hal ini perlu diantisipasi agar hubungan antar umat beragama tidak semakin buruk atau bahkan meledak menjadi konflik horizontal. “Bantuan seharusnya diberikan tanpa membedakan agama dan asal usul seseorang,” tegas Pendeta Lambok.

Pengungsi korban longsoran tanah umumnya bekerja sebagai petani dan kini mereka mengharapkan bantuan benih dan alat-alat pertanian baru untuk membersihkan area persawahan mereka yang rusak oleh banjir bercampur longsoran. “Rumah kami hilang ditelan tanah, sawah kami juga. Kami butuh rumah agar bisa tinggal dengan tenang dan sawah untuk menghidupi anak,” ujar Anita Br Simanjuntak yang kehilangan suami dan ayah mertuanya. Dari assessment yang dilakukan CORDIA, tiga kebutuhan utama untuk memulihkan kehidupan warga yaitu bibit tanaman dan alat-alat pertanian untuk perbaikan sawah, rehabilitasi sekolah dan paket bantuan pendidikan untuk anak, serta pembangunan kembali rumah warga yang hilang dan hancur.

Selain memberikan bantuan CORDIA juga mengundang tokoh masyarakat, pemuka agama dan perwakilan pengungsi dalam sebuah pertemuan untuk mendapatkan gambaran lengkap persoalan apa saja yang muncul paska bencana dan kebutuhan yang sebenarnya paling diinginkan oleh pengungsi. Pada akhirnya terungkap bahwa belum ada semacam komunitas atau lembaga di tingkat masyarakat sipil yang mampu bergerak secara swadaya dan melakukan inisiatif-inisiatif untuk memperjuangkan nasib dan kepentingan mereka.

Dominasi pemerintah dan kebijakan yang mereka keluarkan selama ini sama sekali tidak mewakili aspirasi warga yang saat ini sedang menjalani kehidupan mereka sebagai pengungsi. Pemerintah bahkan seperti menutup mata terhadap penebangan hutan illegal yang dilakukan oleh sejumlah pengusaha. “Puluhan tahun saya tinggal di sini dan sejak kecil saya lihat truk-truk besar mengangkut kayu gelondongan naik turun melalui jalan ini. Sebenarnya penebangan pohon yang diganti dengan pohon kemiri oleh warga tidak sebanding dengan penebangan yang dilakukan orang-orang itu yang pasti bekerjasama dengan pemerintah,” ujar Sitanggang, salah seorang warga Lawe Desky.

CORDIA sendiri menempuh perjalanan dua jam mendaki bukit dan melihat betapa dahsyat dan mengerikannya jalur longsoran tersebut. “Kalau kita tengok kondisi di atas sini, dan kayu gelondong besar-besar seperti ini bekas tebangan pastilah yang bikin longsor para bos penebang itu,” ujar Simon, pemuda setempat yang memandu CORDIA mendaki bukit hingga puncak pertama. Hal yang paling mengerikan, setelah menempuh perjalanan lebih dari lima kilometer ke atas bukit, masih belum terlihat bagaimana rupa ujung longsoran tersebut.

Melihat lokasi bencana dan bentang alam wilayah Simpang Semadam dari puncak bukit, seolah melihat keagungan lukisan Sang Pencipta. Tetapi alam juga seperti hendak mengirimkan pesannya, menyatakan kepada warga bumi bahwa dirinya tidak layak untuk dieksploitasi begitu saja. Sebab ia juga hidup dan berhak untuk bertumbuh-kembang. Dan dari atas puncak bukit ini, Aceh Tenggara adalah Indonesia lain yang indah dalam pandangan jauh di mata tetapi menyedihkan dalam kenyataan sehari-hari. Sebab di ujung kaki bukit ini, ribuan pengungsi baru tiba-tiba terlahir, menemani jutaan pengungsi lain yang terbentang dari Sabang oleh tsunami hingga Nabire-Papua karena gempa.

Sayup-sayup saya teringat pekik sebuah lagu perjuangan, “Dari Sabang sampai Merauke berjajar [tenda-tenda], sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia…”. * * *

DUnia GEMetar, Reality Show di Nias



*Michael YUDHA Winarno*


LANGIT Gunungsitoli-Nias tersenyum cerah, jutaan bintang dan sebuah rembulan menghiasi angkasanya. Di teras rumah seorang pengusaha - pemilik toko bangunan, kami sedang ngobrol soal prospek ekonomi di Gunungsitoli.

Obrolan lalu juga mengarah pada persoalan tsunami dan pembangunan Nias kembali. “Nias ini tidak pernah maju, Pak. Dari saya kecil hingga sekarang hampir tidak ada perubahan yang berarti di Nias ini. Hanya Bung Karno Presiden Indonesia yang pernah mengunjungi Nias. SBY pun baru kemarin. Barangkali kalau tidak ada tsunami SBY juga tidak akan ke Nias,” katanya.

Secangkir kopi baru saja saya teguk. Sesaat mata saya sempat melirik jam di tangan, 23:20 wib. Tiba-tiba rumah bergetar hebat, kursi kosong di depan kami bergeser menjauh. Beberapa detik kemudian kami tersadar. Gempa! Kami langsung berlari ke luar rumah dan bumi semakin terguncang.

Pagar besi beton tiba-tiba roboh. Saya limbung dan bergerak merangkak di aspal jalan. Tiang-taing listrik mulai bertumbangan dan kabel-kabelnya meliuk-liuk seperti hendak menyambar kepala saya diiringi percikan api. Semuanya tiba-tiba gelap dan tanah tempat saya berpijak masih terguncang-guncang. Kepala saya mulai pusing dan gempa sepertinya belum mau berhenti. Teriakan histeris, gemuruh suara bangunan yang roboh dan bunyi berdebam semakin keras susul menyusul. Lima belas menit kemudian saya rasakan tanah berhenti bergetar. Sesaat saya langsung bangkit dan berlari menembus kegelapan sepanjang jalan sambil menghindari reruntuhan tiang dan kabel listrik yang tumbang.

Saya tidak tahu arah mana tetapi saya segera berbelok ke kiri ke arah jalan yang lebih tinggi mengikuti arah lari orang-orang yang panik. Rupanya mereka menuju bukit Lasara, tempat yang lebih tinggi. Saya terus berlari sambil mencoba menelepon dari HP tapi gagal. Beberapa kali getaran ringan masih terjadi saat sejumlah sms berisi informasi gempa hebat, SOS, saya kirimkan ke sejumlah kawan. Histeria dan panik massa mengiringi “pelarian” saya menuju bukit. Saya berhenti sesaat, menenangkan diri dan melihat jam; 23:50. Saya segera berbalik arah menuju kantor YEU di jalan Diponegoro dekat masjid Jami.

Tiba di depan kantor, rumah dua lantai itu yang juga kantor PKPA telah roboh. Dua orang kawan saya jumpai terduduk di tepi jalan dengan wajah ketakutan. Setelah memastikan bahwa semuanya selamat, dengan nekat saya putuskan untuk segera memasuki rumah dengan melewati jendela lantai dua yang posisinya sudah miring hingga hampir menyentuh aspal jalan.

Entah darimana keberanian itu muncul. Saya merasa harus menyelamatkan laptop dan kamera digital yang berisi data-data penting selama sebelas hari kunjungan saya di Nias ini. Berdua kami memasuki rumah yang telah berantakan. Saya meraba-raba kegelapan dengan cahaya biru dari layar HP. Akhirnya tiga laptop, dua ransel dan sebuah kamera digital berhasil kami selamatkan. Secepat kilat kami keluar lagi. Bertiga kami berjalan menuju masjid Jami sambil melakukan koordinasi singkat. Dua posko bencana kami tetapkan, masjid Jami dan bukit Lasara. Dua kali telepon dari Jogja kami respon dengan memberikan laporan pandangan mata soal gempa ini.

Satu jam lamanya kami berkeliling di atas sepeda motor dengan hati-hati memantau kondisi terkini. Kota gunungsitoli hancur dan lumpuh total. Dua titik kebakaran terlihat di pasar dan sebuah lagi di depan terminal. Kembali ke Masjid Jami kami lihat kerumunan orang semakin ramai. Kami berkordinasi lagi dan segera mengumpulkan makanan dari sejumlah toko di sepanjang jalan Diponegoro dengan seijin pemiliknya. Kami sebarkan sejumlah kardus biskuit, mi instan dan air mineral kepada warga yang berkerumun di halaman Masjid Jami, di sepanjang jalan ke arah bukit Lasara dan di halaman Masjid Agung. Hujan mulai mengguyur dan kami terus berkeliling kota.

Teriakan minta tolong masih terdengar di mana-mana. Hampir di setiap bangunan yang roboh terlihat upaya dua-tiga orang berusaha menyelamatkan anggota keluarganya yang tertimbun. Rintihan terdengar semakin pilu manakala daya upaya penyelamatan sepertinya sia-sia tanpa dukungan alat berat. Seorang ibu yang kami datangi meraung-raung sambil memukuli beton meneriaki nama suami dan anak-anaknya. Sampai di depan masjid, seorang nenek berdiri di dekat pagar sambil berteriak-teriak dengan bahasa setempat dan meraung-raung.

Saya beruntung, dalam hati saya benar-beanr merasa sebagai orang yang paling beruntung di muka bumi ini. Saya selamat dari bencana yang mengerikan dan saya masih sadar sehat walafiat! Sesaat saya pandangi langit yang gelap. Sebutir air mata meleleh dari sudut mata saya.

Kabar dari Sirombu belum juga muncul. Di sana, sebuah posko kami memberikan layanan kesehatan, water and sanitation, serta community developmnet paska tsunami. Tetapi entah bagaimana kabar kawan-kawan YEU dan relawan lokal di sana. Kami begitu mencemaskan kondisi mereka.

Tak terasa pagi menyambut. Hari baru tanpa mentari bersinar dan tanpa kokok ayam jantan. Langit kelabu dan Gunungsitoli berubah total. Mulai hari ini yang abadi adalah ketidakpastian dan perubahan itu sendiri. Saya pun tak pernah mengira. Tiga hari lalu masih di Sirombu, melihat pelangi senja hari di atas kepulauan Hinako yang eksotik. Sekarang, berdiri ditemani kedukaan dan kehancuran yang menjalar di setiap sudut kota Gunugsitoli.

Di Gunungsitoli, hari baru disambut oleh gempa-gempa susulan dan guyuran hujan. Sebuah sms masuk ke HP saya, “Oalah Indonesia… bencana terus… Piye nasibmu Yud? Masih di Nias?... Saya terdiam. Saya balas sms dari seorang sahabat itu dengan mengirim sms di dalam hati kepada Tuhan. “Oh Tuhan, engkau begitu mencintai diriku… semoga Engkau juga begitu mencintai Indonesia…”

Hujan lebat mengguyur, saya teringat bahwa Rabu kemarin seharusnya saya sudah ada di Jakarta lagi. Gempa susulan baru saja terjadi dan saya akhiri catatan ini karena baterai laptop habis. Tetapi semoga semangat Indonesia tidak pernah habis. Semoga... ***

[catatan ini saya buat berdasarkan pengalaman riil Gempa Nias, 28 Maret 2005 tengah malam, kebetulan saya sedang bertugas di Gunungsitoli-Nias pada saat gempa terjadi]

Ketika Seulawah Kembali Ke Aceh



* Michael YUDHA Winarno *

KETIKA Garuda raksasa yang saya tumpangi menjejakkan kakinya pada landasan pacu Sultan Iskandar Muda, rasa syukur kepada-Nya saya sampaikan dalam batin bersamaan hembus nafas penuh kelegaan. Tiba-tiba ingatan saya merekam tradisi Paus Yohanes Paulus II, pemimpin umat Katolik sedunia yang selalu mencium tanah saat pertama mendarat di sebuah wilayah yang dikunjunginya. Saya pun sebenarnya ingin melakukan hal yang sama [sebab ini kunjungan pertama saya ke Banda Aceh], tapi tentu saja rasa malu yang lebih besar membuat keinginan itu tidak terwujud. Entah kenapa, saya tidak mampu bersujud mencium tanah-bumi Rencong. Langkah kaki saya berjalan terus hingga seorang kawan menjemput di pintu keluar bandara. Rasa malu itu telah menghasilkan penyesalan dalam batin, sebab sudah lama memang saya ingin menjelajahi tanah Rencong tapi apa hendak dikata, justru Tsunamilah yang berhasil menghadirkan dan mengundang saya datang ke Aceh.

Di atas sepeda motor yang meluncur menuju posko relawan YEU Banda Aceh, saya sempat menengok kembali ke arah burung besi itu; Garuda. Ah, bukankah dulu ia bernama Seulawah alias Gunung Emas? Pesawat DC-3 pertama yang dimiliki Republik ini kala masih balita, sumbangan rakyat Aceh sekaligus tanda cinta dan bakti setia mereka pada Indonesia. Lalu terbentuklah Indonesia Airways yang sekarang bernama Garuda Indonesia sebagai maskapai penerbangan nasional yang terbang ke seluruh penjuru dunia. Aceh sejak mula memang telah menerbangkan Indonesia. Tetapi ibarat air susu yang dibalas dengan tuba, Indonesia justru menghempaskan Aceh ke dalam kubangan lumpur penderitaan. Ironis, tragis dan miris rasanya.

Dalam kegamangan hati karena mengingat Seulawah itulah saya akhirnya sampai di tujuan. Tapi, ah di mana ada bencana? Sepanjang jalan belum tercium “aroma disaster” seperti telah ditayangkan oleh televisi. Atau mungkin kerena empatpuluh hari telah lewat paska tsunami sehingga situasi mulai membaik. “Nanti di Lhok Nga, Krueng Raya dan Ulee Le, Mas akan lihat sendiri seperti apa itu Tsunami, sekarang kita istirahat sebentar, makan dan minum,” tawaran Ijal seolah menjawab pertanyaan dalam benakku.

Batu Persoalan dalam Ingatan

Lepas Lohur kami meluncur bersama labi-labi, public transportation khas Aceh yang sekaligus dioperasikan sebagai mobil klinik keliling, menyisir jalan sepanjang pantai ke arah pelabuhan Malahayati. Entah berapa ribu pasien telah dilayani oleh labi-labi ini. Kami sempat berhenti persis di tengah lokasi bencana. Saya bayangkan gulungan ombak setinggi sepuluh meter itu menghancurkan kota Banda. Sengaja saya menghadap ke arah laut, memejamkan mata dan merentangkan ingatan jauh ke masa lampau. Tsunami ini bahkan lebih hebat dari serangan Belanda 132 tahun yang lalu.

Seperti dikisahkan oleh Paul van Veer dalam De Atjeh Oorlog [Perang Aceh], 26 Maret 1873. FN Nieuwenhuijzen langsung meneriakkan maklumat perangnya tatkala kapal komando Citadel van Antwerpen baru saja membuang jangkarnya di laut antara Pulau Sabang dan daratan Aceh. Ditambah informasi cendekiawan tukang Snouck Hurgronje yang melaporkan dalam catatan ilmiahnya bahwa Aceh adalah sasaran empuk karena hanya dihuni sekumpulan pribumi penyamun dengam mental penipu cerdik ala kancil. Tentara Kompeni dengan penuh keyakinan diri merasa seperti kawanan gajah yang dengan gampang melabrak ladang jagung tanpa perlawanan.

Keangkuhan dan kepongahan Belanda rupanya harus dibayar mahal. Mimpi untuk menaklukkan Aceh akhirnya tak terbeli. Aceh tidak pernah bersimpuh di bawah kaki sang kolonialis. Neuwenhuijzen dan para Menir kerajaan Belanda lainnya harus menelan pil pahit kenyataan, bahwa “Acehlah yang terakhir ditaklukkan Belanda sekaligus yang pertama terlepas dari kekuasaannya.” Perang Aceh akhirnya menjadi pelajaran paling berharga dan tidak akan pernah dilupakan dalam catatan sejarah militer Belanda. Lalu siapa yang bisa meramalkan bahwa kelak akhirnya justru “ombak yang berlabuh di pantai” atau dalam bahasa Jepang artinya “Tsunami”, yang justru meluluhlantakkan Aceh.

“Mas, ayo kita lanjut ke Bukit Soeharto, ada minum aqua di labi-labi kalau haus.” Sentuhan tangan Ijal pada pundakku menghadirkan kembali kesadaranku pada kekinian. “Gila, benar-benar gila, hanya orang-orang yang sangat tegar yang bisa menerima bencana seperti ini,” batin saya dipenuhi ragam tanya perihal kehendak Sang Pencipta. Beribu pertanyaan susulan sontak menyerbu dan saya putuskan untuk menghentikan sementara catatan perjalanan di tanah Rencong ini.

Melewati pelabuhan Malahayati yang mulai berfungsi kembali, di bulan kelima tahun 1426 Hijriah pada kunjungan kedua di Nanggro Aceh Darussalam ini, ambulance yang saya tumpangi mulai menanjak ke arah Bukit Soeharto. “Ah, Soeharto, namamu pun engkau abadikan untuk seonggokan bukit. Belum cukup rupanya engkau namai perbukitan di lintasan Balikpapan-Samarinda dengan namamu yang konon di dalam perutnya mengandung penuh biji besi dan emas, atau semua perbukitan yang membujur di sepanjang garis ekuator ini harus menyandang namamu yang terhormat?”, batinku memprotes sembari mengenang seorang kawan lama yang tertembak peluru aparat di Semanggi, dan menjadi “tumbal” reformasi yang kini terhenti.

Puncak Bukit Soeharto telah kami lewati dan sepanjang jalan menuju Buerneuet hingga Lampana ibarat menempuh perjalanan di sebuah taman raksasa di atas langit. Perbukitan terbuka menghijau begitu dekat di kiri-kanan, langit biru jernih menggantung di atas dan seolah kami dapat menyentuhnya. Pandangan mata bahkan lepas tertuju pada Seulawah, puncak gunung tertinggi di Banda. Bahkan rombongan sapi yang merumput di lereng perbukitan dapat kami lihat dengan jelas. Sementara sopir yang mengemudi ambulance juga harus berhati-hati manakala seekor anak sapi tiba-tiba melintas di jalan menyembul dari balik tanaman perdu yang daunnya menjalar menutupi sebagian bahu jalan. Ah, keelokan alam ini setidaknya cukup memberikan keteduhan hati di tengah desingan peluru dan konflik politik tanpa akhir antara pasukan Republik dengan Gerakan Aceh Merdeka. Di Buerneuet kami singgah untuk memberikan layanan kesehatan, sementara di Blang Ulam kami melakukan survey awal untuk sebuah rencana pengembangan desa wisata.

Tidak ada informasi yang pasti tentang siapa yang mulanya bermukim di Blang Ulam ini. Yang jelas, kondisi tanah cukup subur bagi warga setempat yang menjadikannya sebagai lahan budidaya cabai. Sementara sebagian warga lainnya berprofesi sebagai nelayan dan buruh tambak di sepanjang pesisir pantai yang kini hancur oleh Tsunami. Jumlah mereka tidak banyak. Antara dua puluh hingga tiga puluh keluarga mendiami area ini seperti komunitas gelandangan yang mendiami kolong-kolong jembatan ibukota. Ada juga beberapa keluarga “pelarian” di dalamnya. Datang menginap satu-dua malam untuk kemudian pergi lagi entah ke mana. Dan suatu hari datang kembali di tengah malam. Meraka tidak memiliki rumah lagi karena habis tersapu Tsunami dan hanya tinggal di tenda-tenda darurat atau rumah panggung sederhana dari kumpulan kayu apa adanya yang berhasil mereka dapatkan. Anak-anak bermain dengan lumpur bertelanjang kaki dan perkakas rumah tangga ala kadarnya bergeletakan di sembarang tempat. Tidak ada pagar pembatas yang cukup jelas di wilayah ini selain pagar kawat yang jauh di pinggir jalan untuk menghalangi ternak sapi atau kambing yang sembarangan menyeberangi jalan.

Antok [24 tahun], warga setempat yang mengaku datang dari Meulaboh delapan tahun lalu untuk mencari rejeki dan kini telah beristri dengan seorang anak perempuan yang masih balita. “Saya dulu bekerja membantu tokai tambak tapi sekarang ya hanya tanam cabai. Usaha tokai bangkrut karena tentara sering datang meminta dan orang itu [sebutan untuk aktivis GAM] juga.” Dirinya mengaku tidak memiliki rencana apa-apa selain tetap mendiami area Blang Ulam meski tanah tersebut milik pemerintah dan mereka hanya mendapatkan hak guna mengolah lahan. Hampir separuh dari jumlah keluarga yang mendiami wilayah ini tidak memiliki kartu keluarga atau identitas lainnya. Bukan karena hilang oleh Tsunami tetapi memang karena mereka tidak pernah memilikinya. Dengan masa depan pendidikan anak-anak mereka yang tidak pasti, pola hidup yang sangat sederhana dan tempat bermukim ala kadarnya, dua pertanyaan saya lontarkan pada diri sendiri. Apakah mereka sesungguhnya adalah manusia-manusia yang penuh syukur atau fatalis? Atau apa yang sebenarnya mereka cari dan maknai tentang hidup ini?

Langit Harapan dan Kekaburan

Ah, bukankah hidup ini begitu singkat? Life, however long, will always be short. Too short for anything to be added. Demikian Wislawa Szymborska, penyair Polandia penerima Nobel Sastra 1996 berpuisi. Ia seperti hendak menyajikan kelamnya hidup leluhur manusia; hidup yang demikian singkat, begitu singkat sehingga sepanjang apa pun ia terentang tetap tak sanggup menampung sekaligus memekarkan hal-hal baru. Dan di Blang Ulam, waktu memang seolah berhenti berputar. Hari kemarin, sekarang dan esok adalah sama. Bahkan Tsunami secara hakiki tidak mengubah sama sekali pola hidup mereka. Bangun tidur, menanam cabai atau menjaga ternak atau mencari ikan di sela-sela akar bakau, pulang ke rumah, makan ala kadarnya, istirahat malam sambil bercumbu dengan pasangan dan anak-anak kemudian mereka ciptakan tanpa rencana dan tujuan tertentu. Semuanya seolah mengalir begitu saja ringan tanpa beban dan “damai tenteram”. Dan sebuah catatan kaki lalu saya tandaskan dalam sanubari, sekiranya mereka bahagia dan sadar dengan kenyataan hidupnya, untuk apa saya mempersoalkan kehidupan mereka?

Perjalanan melintasi wilayah yang penuh dengan “hot spot” dengan pemandangan alam demikian cantik akhirnya berujung di Lampana, untuk kemudian “balik kanan” pulang ke posko. Tidak ada korban Tsunami di desa ini tetapi kami tetap memberikan layanan kesehatan mengingat service seperti ini tidak pernah dinikmati oleh warga setempat. Bahkan sebuah puskesmas, baru direncanakan peresmiannya bulan depan. Dan semoga saja program subsidi BBM [Bahan Bakar Minyak] yang sebagian tercurah untuk bidang kesehatan dapat mereka nikmati secara gratis. Jadi calon pasien nantinya tidak perlu mengeluarkan lembaran rupiah.

Melihat tentara menjaga desa Lampana tentu bukan berita yang menyenangkan sebab artinya desa ini dinyatakan sebagai salah satu basis GAM. Jadi potensi konflik yang berlumur darah, kontak senjata, bisa terjadi tiba-tiba dengan alasan keamanan. Lebih tidak menyenangkan lagi karena penyakit demam berdarah yang sekarang menghantui warga desa [sebelumnya desa ini imun dari demam berdarah] ternyata awalnya berasal dari pergantian pasukan TNI dari Papua yang pernah bertugas cukup lama di Lampana. Ah Lampana, setengah abad lebih dirimu setia pada Republik tapi jalan desa beraspal pun tidak dihadiahkan kepadamu. Dan ketenangan-kedamaian yang engkau tampilkan di permukaan seperti hendak menyembunyikan duka-lara jiwamu yang lelah menyaksikan drama kekerasan di serambi kampung halaman sendiri. Engkau sendiri mengatakan bahwa dirimu lebih takut dan trauma terhadap DOM, senjata, penculikan, pembunuhan serta pemerkosaan daripada terhadap Tsunami.

Dan Lampana yang lain dengan mudah kita temukan di belahan dunia ini. Kekejian-pembantaian etnis di Jerman dan Armenia, perang saudara di Rusia dan China, dan penumpasan orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia, perang etnis di Kalimantan, penumpasan antarumat beragama di Maluku dan Poso yang hingga sekarang tak juga reda, seperti hendak menegaskan bahwa sejarah kemanusiaan akan selalu ditulis dengan darah dan mencatat seluruh ragam kegilaan oleh menumpuknya kekuatan destruktif yang bisa menghancurkan dirinya sendiri, berkali-kali seolah tak kenal jera. Kekejaman manusia terhadap sesamanya tidak dengan sendirinya sirna.

Bahkan manakala Tsunami telah meratakan segala apa yang berdiri di muka bumi, Aceh tetap bergolak oleh sengketa politik. Solidaritas sebagai sesama korban hanya isapan jempol belaka. Berbagai jenis bantuan kemanusiaan yang tidak pernah membedakan agama, jenis kelamin, suku, ideologi dan kewarganegaraan terpaksa diinterogasi di tengah perjalanan ke mana handak didistribusikan. Dan masih ditambah ancaman serta permintaan “upeti” kepada para pekerja sosial – tim kemanusiaan yang membawanya. Dan para pekerja sosial – tim kemanusiaan itu seperti berada dalam jepitan lengan kalajengking raksasa. Membantu di sebelah kiri mendapat ancaman, melayani pihak kanan pun nyawa bisa melayang. Lalu berdiri di tengah pada posisi netral akhirnya menjadi keharusan, meski pilihan seperti ini tak jarang masih sarat resiko.

“Ikut GAM sengsara ikut Indonesia sejahtera,” demikian sebuah baliho bercat merah putih terpampang di sebuah lapangan di tengah kota. Warga lagi-lagi dihadapkan pada sebuah pilihan. Seperti ancaman dengan pilihan hidup atau mati. Dan meski seandainya memilih hidup pun tetap akan mati juga, atau tetap hidup tapi dengan kondisi ekonomi yang kembang kempis dan serba pas-pasan dengan standart hidup di bawah garis kemiskinan. Makan nasi sambal sambil bermimpi bahwa kelak para petinggi Republik ini akan mensejahterakan rakyatnya.

Dan biarlah mimpi itu terbang tinggi, bersama Seulawah, DC-3, embrio Garuda Airways persembahan rakyat Aceh untuk Indonesia. Dan terus bermimpi agar kelak saat Seulawah kembali, ia membawa perubahan yang berarti, bagi rakyat yang telah dihancurkan oleh Tsunami, tapi masih memiliki harga diri. Dan setidaknya “Seulawah yang lain” sekali lagi dipersembahkan oleh Aceh, sebab Tsunami juga mengurangi sebagian hutang Republik yang bertumpuk yang entah kapan akan lunas terbayarkan. Sebuah “berkah” di balik bencana…? ***

“Bencana Sosial dan Kemiskinan Struktural”



oleh: Michael Yudha W


“A world mired in poverty cannot be a world at peace” [Kofi Annan, Secretary-General of The United Nations]


TIGA akar persoalan sosial yang melahirkan bencana global saat ini adalah kemiskinan, kekerasan dan ketidakadilan struktural. Tiga kekuatan dunia yang begitu menggurita berkuasa serta berebut pengaruh satu sama lain secara ketat ialah negara, pasar dan masyarakat. Sedangkan tiga kecenderungan utama masyarakat dunia dewasa ini adalah konsumsi, kompetisi dan konflik

Ketiga tesis tersebut adalah gambaran riil dari dunia kita yang sedang lari tunggang langgang tak tentu arah atau sebagaimana dianalogikan oleh Anthony Giddens seperti seorang perempuan dalam kondisi hamil tua. Dengan segala daya merawat dan menahan sakit atas kandungan bersamaan dengan penantian proses kelahiran sang jabang bayi [peradaban] sekaligus suka cita pengharapan akan datangnya sang bayi dalam keadaan sehat dan lucu [dunia yang lebih baik] sebagaimana diimpikan seluruh warga bumi.

Bencana Sosial
Kemiskinan, kekerasan dan ketiadakadilan struktural tumbuh dan merajalela di setiap belahan bumi. De facto tidak satupun negara di dunia ini yang bebas dari ketiga jenis bencana sosial tersebut. Kerusuhan sosial dan gerakan buruh yang diiringi demonstrasi masif mahasiswa Le Sorbonne yang sempat melumpuhkan 35 kota di Prancis, “konflik minyak” yang diiringi rangkaian ledakan bom di Iraq dan ketidakstabilan “pemerintahan demokratis” bentukan Amerika, kekerasan dan “diplomasi abadi” di Tanah Suci antara Israel dan Palestina bersamaan dengan ancaman pemotongan dana bantuan untuk para pejuang Palestina, hingga perlawanan oposisi yang memecahkan kebekuan negeri atap dunia Nepal dengan tuntutan mundur Raja Gyanendra sampai pergerakan sekitar 3.000 kaum “Mujahidin Afghani” dan alumninya di Indonesia yang sempat menimbulkan “teror massa” adalah gambaran riil atas bencana sosial itu sendiri.

Dikatakan sebagai bencana sosial sebab ketiganya timbul sebagai akibat dialektika tesis – antitesis – sintesis dalam perspektif perkembangan [juga kemunduran] peradaban manusia. Peradaban dimaksud adalah aneka produk dari setiap jenis tindakan, kebijakan maupun intervensi yang dilakukan oleh tiga pilar utama penyangga tata dunia saat ini yaitu pilar politik [negara], pilar ekonomi [pasar] dan pilar sosial [masyarakat sipil] berikut perubahan sosial yang menyertainya sebagai konsekuensi langsung-logis atas tindakan, kebijakan serta intervensi itu sendiri.

Bencana sosial tersebut juga bersifat masif-destruktif dan struktural-kultural. Masif karena terjadi di hampir setiap titik dalam peta geo-politik bumi dan destruktif karena menelan korban umat manusia dalam kuantitas yang signifikan bahkan mampu melumpuhkan kemampuan survival manusia. Bersifat struktural-kultural oleh karena “dalang” bencana sosial ini melibatkan para pemegang otoritas formal-legal yang memang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menentukan masa depan serta nasib sebagian atau hampir seluruh warga bumi. Minimal nasib dan masa depan warga sebuah negara. Sedangkan aspek kultural bencana sosial dimaksud dapat terlihat dari nilai-nilai dasar, ideologi atau paham yang menjadi landasan pada setiap jenis tindakan, kebijakan maupun intervensi yang dilakukan.

Dengan menyadari bahwa bencana sosial hakekatnya timbul karena ulah manusia sendiri dan memiliki dampak yang tidak kalah destruktifnya daripada bencana alam, maka upaya mereduksi bencana sosial perlu dilakukan sejak dini sebagai langkah antisipasi dan menjadi bagian dari sistem peringatan dini [early warning system] bersama dalam konteks hubungan trilateral negara, pasar dan masyarakat.

Posisi Indonesia paska kunjungan Condoleezza Rice [Menlu AS], Tonny Blair [Perdana Menteri Inggris] dan Paul Wolfowitz [Presiden World Bank] adalah jelas. Sebagai sebuah “negara dunia ketiga” yang sedang berjuang mewujudkan demokrasi dengan populasi mayoritas beragama Islam dengan kekayaan alam yang melimpah dipandang oleh “Barat” sebagai mitra strategis. Maka sudah sepatutnya Indonesia lebih percaya diri dan lebih berinisiatif berperan dalam percaturan tata dunia guna mewujudkan dunia yang lebih baik. Dalam konteks ini adalah bagaimana kontribusi Indonesia bagi pengurangan dan pencegahan bencana sosial dan kemiskinan struktural.

Sebagai contoh kalkulasi sederhana, jika Indonesia mampu mengurangi tingkat kemiskinan sebagaimana ditargetkan dalam tujuan Deklarasi Milenium [MDGs] yang ditandatangani hampir sebagaian besar negara anggota PBB pada 8 September tahun 2000 lalu, maka jumlah ini akan berdampak pada pengurangan kaum miskin dunia. Ujung-ujungnya, kemampuan konsumsi masyarakat meningkat dan ini berarti kabar baik bagi para kapitalis dunia, minimal ekspansi pasar dapat dilakukan. Demikian halnya jika Indonesia berhasil menegakkan demokrasi maka ia menjadi satu-satunya negara dengan populasi Islam terbesar di dunia yang akan lebih diterima dan “menyenangkan” pihak Barat. Kepastian hukum, penghormatan atas HAM dan martabat manusia serta keterbukaan masyarakat Indonesia sebagai buah keberhasilan praktek demokrasi jelas akan menaikkan citra positif dan posisi tawar Indonesia dalam sistem tata dunia.

Strategi Nasional
Untuk meningkatkan kapasitas Indonesia dan peran serta pengaruhnya pada tata dunia, maka lima startegi nasional berikut harus secepatnya dikerjakan sebagai kontribusi riil Indonesia dalam hal pengurangan dan pencegahan bencana sosial serta kemiskinan struktural yang lebih besar. Di sinilah jargon Think Globally Act Locally menemukan ladang garapannya.

Pertama, tuntaskan masalah KKN sebagaimana menjadi tuntutan reformasi 1998 dengan mengadili kasus-kasus korupsi dengan putusan akhir hukuman mati bagi para koruptor serta pengembalian aset rakyat yang dikelola negara sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Hukuman mati juga bisa diperluas bagi para penjahat narkoba dan bandit lingkungan hidup yang telah merusak hutan Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa KKN telah menjadi kontributor utama bagi terciptanya masyarakat miskin dalam jumlah yang besar karena KKN turut menghanguskan kesempatan rakyat untuk mendapatkan hak-hak mereka.

Kedua, ciptakan kebijakan publik pro rakyat [dana lebih besar untuk pendidikan, kesehatan dan kredit mikro] yang disertai dengan pengawasan ketat untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme berulang. Alokasi 20% APBN untuk sektor pendidikan dan implementasi sungguh-sungguh pendidikan dasar gratis di seluruh Nusantara menjadi contoh yang baik atas kebijakan publik pro rakyat. Asuransi kesehatan gratis bagi setiap warga negara dan jaminan layanan kesehatan gratis bagi ibu-ibu yang mengandung sampai anak usia lima tahun akan menjadi dasar terciptanya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

Ketiga, membuka seluasnya akses informasi atas proyek-proyek pemeritah yang berhubungan dengan kepentingan rakyat dan pengelolaan atas kekayaan alam [infrastruktur; jalan, listruk, air, kebijakan dan pengembangan industri migas, pembukaan lahan sawit, dll.] dan kemudahan aparatur negara dalam pelayanan publik anti KKN seperti pembuatan KTP, SIM, STNK, surat ijin usaha, tagihan pajak, dll.

Keempat, perkuat relasi sipil dengan mengembangkan jaringan komunikasi intensif dengan berbagai kelompok sosial dalam masyarakat seperti komunitas bisnis, buruh, petani, kaum muda, intelektual, rohani, budayawan, untuk mencapai pemahaman bersama [mutual understanding] atas berbagai masalah sosial yang terkait dengan kepentingan dan eksistensi masing-masing. Pentingnya komunikasi dan keterbukaan sosial ini agar mulai terjalin kultur dialog yang kritis sekaligus kondusif bagi upaya dini pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian abadi dalam segala aspek. Mengutip pernyataan Koffi Annan di atas, “A world mired in poverty cannot be a world at peace” dapat dijadikan semangat dalam mengembangkan jaringan komunikasi dimaksud.

Kelima, kebebasan pers dan kepastian hukum akhirnya menjadi pilar utama menuju masyarakat yang sejahtera. Tidak ada gunanya pers yang kritis-investigatif tanpa keberlanjutan pengadilan dan eksekusi atas kasus-kasus hukum yang telah diberitakan dan berdampak pada potensi pemangkasan martabat dan HAM. Kerjasama yang baik antara media, kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dengan tetap menghormati independensi dan fungsi masing-masing akan menjadi kekuatan progresif penangkal aneka kejahatan yang dapat mencegah serta meluasnya bencana sosial dan kemiskinan struktural dimaksud.

Akhirnya, mau tak mau, suka atau tidak, kemampuan bangsa Indonesia dalam hal penanggulangan, antisipasi serta upaya penyelesaian bencana sosial dan kemiskinan struktural akan berpengaruh pada citra kita bersama sebagai sebuah negara bangsa yang bermartabat atau justru bejat. * * *

Reformasi, A Mission Impossible


oleh: Michael Yudha W


O Tempora! O Mores! [Cicero, 106-43 SM]
Oh, zaman apakah ini! Akhlak macam apakah ini!

KUTIPAN pembuka pidato Cicero, politikus Roma di hadapan Senat Romawi 8 November 63 SM lampau kembali bergema di persada nusantara yang sedang digonjang-ganjingkan oleh prahara alam dan manusia. Mendadak rakyat mendapat kejutan hadiah pada ulang tahun sewindu reformasi, penghentian kasus hukum mantan Presiden Soeharto! Ada apa gerangan? Benarkah reformasi sungguh-sungguh terjadi?

Apakah issue ini sengaja dirilis media massa sebagai bagian dari strategi agenda setting untuk sekadar meningkatkan tensi politik karena Mei merupakan “bulan keramat”? Atau karena jubah politik sudah kotor [Kompas, 10/05/06] dan janji “Bersama Kita Bisa” benar-benar tinggal janji, maka demo buruh dan amuk massa rakyat dengan campuran tafsir politik kejawen atas fenomena alam gunung Merapi dapat dijadikan petunjuk bahwa mahasiswa Indonesia harus bersiap-siap kembali untuk melakukan aksi ekstra parlementer secara masif dan serentak? Bagaimana sebaiknya memahami kejutan-kejutan sosial yang semakin menjamur di bulan perlambang kebangkitan kesadaran rakyat ini?

Tiga Ilusi Reformasi
Minimal ada tiga fakta di seputar gerakan mahasiswa, demonstrasi buruh dan amuk massa rakyat Mei 1998 lalu dengan Mei 2006 ini yang akhirnya hanya melahirkan ilusi reformasi. Pertama, reformasi 1998 yang dimotori mahasiswa baru mendapat dukungan kelompok buruh “hanya” seminggu menjelang lengser keprabon Presiden Soeharto. Rasa gemas aktivis mahasiswa melihat lambatnya respon gerakan buruh waktu itu begitu tinggi. Pun demikian sejumlah aktivis mahasiswa dapat memahaminya mengingat dampak krisis ekonomi benar-benar terasa menghajar dan melumpuhkan ekonomi buruh hingga ke titik nadir sehingga mereka tidak memiliki cukup “tenaga” untuk mengkonsolidasikan suatu gerakan. Apalagi, upaya sistematis untuk memandulkan gerakan buruh telah dikerjakan oleh Orde Baru sejak dini paska tragedi 1965 dengan dihimpunnya kaum buruh yang bersekutu dengan tentara dalam FBSI [Federasi Buruh Seluruh Indonesia], kemudian dikenal sebagai SPSI [Serikat Pekerja Seluruh Indonesia].

Sebaliknya demonstrasi buruh di Mayday lalu yang berlanjut dengan “aksi kejutan” 3 Mei yang sempat menyebabkan kerusakan infrastruktur jalan ibukota, nyata belum diiringi dengan dukungan masif gerakan mahasiswa. Kondisi ini bertolak belakang dengan kejadian sewindu lalu dan menjadi tanda bahwa reformasi tidak sekaligus berhasil mempererat simpul-simpul demokrasi antara gerakan mahasiswa dengan elemen buruh. Memang reformasi mampu melahirkan berbagai organisasi buruh, ratusan LSM yang memperjuangkan nasib buruh dan beragam kelompok diskusi mahasiswa pro buruh. Toh secara substantif belum berhasil membuat sebuah jala sosial yang dalam situasi dimana buruh dirugikan maka jala ini dapat dipakai untuk menangkap penjahat kakap pengambil kebijakan yang tidak populis dan tidak pro buruh.

Bahwa pertemuan bipartit buruh-pengusaha dinilai sebagai langkah progresif di satu sisi mencerminkan keberhasilan diplomasi jalanan gerakan buruh. Kedua belah pihak selanjutnya diharapkan mampu memajukan negara dan kesejahteraan warga-rakyat [Kompas, 10/05/06]. Tetapi dinginnya respon mahasiswa atas gerakan buruh belakangan ini telah menjadi tanda kegagalan konsolidasi demokrasi paska reformasi. Buruh terlihat berjuang sendirian tanpa dukungan berarti elemen gerakan mahasiswa. Fenomena ini menunjukkan lemahnya kaderisasi internal masing-masing pihak.

Artinya, komunikasi politik antara buruh dan mahasiswa yang pernah dilakukan secara intensif sesaat menjelang dan sesudah reformasi 1998 tidak berhasil dikelola dengan sistematis untuk kemudian diteruskan pada aktivis gerakan mahasiswa dan buruh generasi sesudahnya. Fakta ini telah meruntuhkan pernyataan para pengamat atas adanya konsolidasi demokrasi secara intensif di tingkat akar rumput. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa dan buruh paska reformasi tidak saling bersinergi dan belum sampai pada tahap simbiosis mutualism. Maka konsolidasi demokrasi paska 1998 hingga kini hanyalah sekadar ilusi reformasi.

Rekonsiliasi dan masyarakat
Kedua, ilusi rekonsiliasi. Enam agenda reformasi 1998 yang menjadi tuntutan massa rakyat waktu itu adalah penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi TNI/Polri serta pemberian otonomi daerah seluas- luasnya. De facto dan de jure sebagian agenda tersebut telah dilaksanakan pemerintah meski lambat dan sering terkesan hanya untuk kepentingan membangun citra positif presiden terpilih bersama para menteri pembantunya.

Aktifitas public relations yang dikerjakan pemerintah transisi lebih bersifat reaktif guna merespon dinamika tuntutan arus bawah yang masih kuat. Pemerintah dibuat gamang dan tidak memiliki keberanian untuk membuat suatu kebijakan yang mendasar dan gradual. Padahal, substansi pelaksanaan agenda reformasi total pada akhirnya akan bermuara pada soal kemampuan Republik ini menyelesaikan problematika serta ingatan sosial politik yang kelam dan gulita di masa lalu secara damai - agar dapat melangkah dengan tenang hati menyongsong masa depan - alias rekonsiliasi.

Dibentuknya berbagai komisi independen seperti KPK yang menangani korupsi dan KKR yang bekerja demi rekonsiliasi nasional lagi-lagi tidak mampu menunjukkan kinerja progresifnya sehingga benang kusut persoalan di Republik ini semakin semrawut. Kaburnya Gunawan Santoso, kasus suap di lingkaran elit kejaksaan, amuk massa Tuban, ketidakjelasan aktor intelektual tragedi Trisakti dan Semanggi hanyalah daftar awal indikator kegagalan kerja-kerja KPK dan KKR maupun beragam komisi lainnya yang telah dibentuk pemerintah sebagai tindak lanjut pelaksanaan agenda reformasi.

Progres tanpa arti atas kinerja KKR yang mendapat ilham dari success story model Afrika Selatan pun ternyata tidak dibarengi dengan penegakan hukum berdasarkan prinsip, asas dan hakekat keadilan. Sehingga orang-orang seperti Eurico Gutteres, Tibo cs. dan Pollycarpus hanyalah pemeran kambing hitam yang harus dijadikan tumbal. Tidak tertutup kemungkinan bertambahnya kambing hitam lain yang akan ditangkap dan dieksekusi.

Contoh paling mutakhir menyangkut rasa keadilan ini adalah proses hukum Soeharto. Sejas semula memang telah disadari bahwa peran dan pengaruh sejumlah politisi anak asuh penguasa Orde Baru ini akan berhasil mempengaruhi elit politik Jakarta. Peradilan Soeharto pun telah dihentikan [Kompas, 11/05/06]. Maka upaya para loyalis Soeharto agar rakyat bisa dan mau mengampuni dosa mantan presiden mereka dengan memanfaatkan momentum usia senja Soeharto yang kabarnya semakin lemah oleh rongrongan penyakit jelas telah mengabaikan rasa tanggung jawab dan menusuk martabat kemanusiaan rakyat. Kenyataan akan kebusukan birokrasi, rapuhnya relasi sosial, menjamurnya korupsi dan mafia peradilan, keterbelakangan dunia pendidikan, kemandulan budaya bangsa, kemiskinan struktural, kekerasan sistemik serta rusaknya perekonomian bangsa dan tata nilai hidup bernegara tidak dapat dilepaskan begitu saja sebagai akibat kebijakan nasional di bawah kuasa Soeharto selama tiga dasawarsa lebih.

Dalam konteks demikian jelas harus ada pihak yang bertanggungjawab dan mendapatkan punishment sebagaimana prosedur hukum wajib ditegakkan serta dijunjung tinggi. Bukan karena nafsu balas dendam politik melainkan semata oleh sebab semangat menghormati prinsip-nilai keadilan. Sebab rekonsiliasi tanpa keadilan adalah mimpi. Dan keputusan menutup kasus hukum Soeharto tanpa proses pengadilan lebih lanjut telah menghempaskan upaya rekonsiliasi menjadi sekadar ilusi.

Ketiga, masyarakat madani atau civil society adalah ilusi reformasi. Bagi negara kepulauan Republik Indonesia dengan lebih dari dua ratus juta penduduk yang begitu plural dan khas dalam keidentitasan dan watak masing-masing etnis yang bersekutu di dalamnya, pemahaman bersama [mutual understanding] sebagai sebuah negara bangsa bernama Indonesia belumlah terwujud. Sebagaimana sering diakui oleh kaum cerdik pandai kita, Indonesia masih dalam proses mencari jati diri untuk kemudian menjadi. Sebagai bagian dari intelektual revolusioner, Soekarno pun sejak awal telah menyadarinya. Maka tak heran bila Bapak Bangsa ini segera mencanangkan gerakan pembangunan watak bangsa [nation and carhacter building] usai proklamasi.

Sehingga tidak mengherankan bila kerawanan sosial yang membuncah menjadi tawuran antar kampung, amuk massa di berbagai kota, pembantaian rasial, kisruh politik dalam pilkada, teror bom dengan mengibarkan bendera agama, intimidasi kepada peserta demonstrasi yang berseberangan pendapat, hingga kekerasan akibat kemiskinan akut yang semakin meningkat paska reformasi adalah tanda bahwa terwujudnya suatu civil society yang menjunjung tinggi demokrasi masih sebatas perdebatan intelek di dalam kampus atau aula hotel.

Terlebih bila kekuatan masyarakat sipil - yang umumnya diwakili oleh kelompok swadaya masyarakat dan didukung oleh media massa serta gerakan mahasiswa dan buruh - ternyata masih tidak mampu menyelesaikan pekerjaan rumah agenda reformasi total yang diamanatkan rakyat sejak sewindu lalu, maka apa yang diharapkan dari terwujudnya sebuah civil society tidak lebih dari urusan pencitraan agar sepertinya memang ada meski sesungguhnya hanyalah ilusi belaka.

Demikian para aktivis pergerakan, intelektual kampus, masyarakat media, kaum pengamat dan peneliti hingga rakyat yang sudah memiliki kematangan politik pun masih saja bersemangat menggelorakan pesan demokrasi, rekonsiliasi dan mimpi akan terwujudnya masyarakat madani. Padahal, sesungguhnya segala bentuk tindakan dan usaha untuk melupakan Soeharto tidak lain adalah lambaian tangan selamat tinggal kepada reformasi. Sebuah misi heroik yang tak mungkin tercapai, sebuah ilusi dalam a mision impossible! [*]

Aceh: The Never Ending Road?


Michael YUDHA Winarno


“Setiap krisis merupakan kesempatan besar bagi jiwa agung untuk muncul dalam panggung kehidupan, semoga jiwa agung itu adalah Anda.” [Napoleon Bonaparte]



KRISIS yang disertai bencana hebat seringkali memiliki dampak yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Baik dari skala kualitas maupun kuantitas. Misalnya perubahan iklim di Eropa yang menyebabkan kegagalan panen kentang di Irlandia, adalah akibat langsung dari letusan Gunung Tambora yang lebih dahsyat dari Krakatau pada awal abad ke-19. Petani-petani miskin dan kelaparan dari Irlandia kemudian bermigrasi secara besar-besaran ke Amerika. Dan siapa yang dapat menduga bahwa Amerika kelak dipimpin oleh Kennedy yang keturunan Irlandia. Lalu dengan membaca situasi tersebut, orang Indonesia bisa juga mengatakan bahwa keturunan Kennedy adalah Indonesia. Sebab nenek moyangnya menjadi orang Amerika gara-gara letusan vulkanik Tambora di Sumbawa.

Bencana dahsyat Tsunami di hari Natal [untuk zona waktu Eropa] yang menerjang Aceh memang telah menghancurkan sekaligus melahirkan drama horor kemanusiaan yang luar biasa. Kengerian yang hadir secara nyata di Aceh bahkan dikatakan sebagai bencana paling hebat di abad ini. “Lebih mengerikan dari peperangan yang pernah saya alami selama hidup,” demikian komentar Jenderal Colin Powell dalam kunjungan kemanusiaannya ke Aceh awal Januari lalu.

Tetapi Tsunami lain justru pernah menyelematkan Jepang dari serbuan pasukan Khubilai Khan. Duapuluh ribu tentara Mongol batal menyerbu wilayah Kyusu ketika gulungan ombak setinggi 30 meter menyapu habis pasukan Khan tersebut di tahun 1274. Sayangnya, delapan abad kemudian “keajaiban Tsunami” yang pernah dinikmati Jepang berubah menjadi bencana. Tragedi Okhusiri 1993 yang menewaskan 200 orang menjadi titik balik kebangkitan dan dijawab oleh Jepang dengan pembangunan benteng anti tsunami sepanjang 14 kilometer garis pantai dengan ketinggian 12 meter. Sea walls megah tersebut akhirnya berhasil mengembalikan Okushiri sebagai kawasan wisata yang indah.

Makna apa yang kemudian dapat dipetik dari kisah-kisah di atas? Dapatkah Aceh mencontoh Okushiri atau akankah seorang Kennedy lahir dari Aceh paska Tsunami? Selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Dan kejadian hari ini tentu masih memiliki koneksi dengan masa lampau. Sebentuk ingatan kemudian dibentangkan.

Dilema Konflik Aceh
SAYANG seribu sayang, cerita tentang Aceh seratus tahun terakhir adalah panggung teater yang penuh dengan aksi laga kekerasan, ketidakadilan, kemelaratan serta kebodohan. Di bawah kendali rejim Orde Baru, Aceh menjadi medan konflik politik yang bersumber dari ketidakadilan ekonomi dan kebijakan sentralistik pemerintah. “Jakarta” seolah menutup mata dan tidak pernah memperhatikan kepentingan serta kebutuhan rakyat Aceh.

Pendekatan militeristik dengan berbagai jenis operasi milter, darurat sipil hingga penetapan sebagai wilayah dengan otonomi khusus ternyata bahkan tidak mampu menyelesaikan masalah. Aceh masih dan tetap menjadi wilayah tertutup dan terisolir dengan kompleksitas persoalan di dalamnya. Bahkan dari duapuluh satu kabupaten/kota yang terdapat di provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam, enambelas diantaranya masuk dalam kategori Daerah Tertinggal.

Dalam kehidupan keseharian, rakyat Aceh selalu diposisikan seperti tahanan penjara dan dibatasi ruang geraknya. Blokade sosial yang ditimpakan kepada mereka bahkan telah merampas hak-hak dasar rakyat Aceh sebagai manusia yang otonom dan merdeka. Kebebasan berbicara, menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul dirampas begitu saja meskipun hak-hak tersebut telah diakui dalam UUD Negara Republik Indonesia.

Orang boleh mengatakan bahwa Tsunami membuat isolasi atas Aceh menjadi terbuka. Aceh kemudian menjadi desa global di mana perhatian dan bantuan internasional bebas keluar - masuk. Tetapi tidak bagi rakyat Aceh sendiri. Kehendak rakyat Aceh mengadakan pertemuan untuk merumuskan agenda bersama meretas jalan menuju Aceh Baru paska Tsunami justru dilarang oleh Penguasa Darurat Sipil. Pertemuan atau “Duek Pakat Warga Nanggroe” yang rencananya diadakan di Takengon – Aceh Tengah, pertengahan Februari lalu pun terpaksa harus dipindahkan ke Medan. Meski demikian, pertemuan masih dihadiri oleh lebih dari 100 perwakilan organisasi sipil dan lembaga sosial dari 21 kabupaten/kota di provinsi Nanggroe Aceh Darrusslam serta seluruh elemen sipil Aceh lainnya. Dan ini adalah pertemuan pertama yang berupaya merumuskan pemulihan rekonstruksi Aceh dari sudut pandang orang Aceh sendiri. Dapat dibayangkan betapa menderitanya rakyat Aceh. Hanya sekadar bertemu untuk membicarakan persoalan mereka sendiri saja dilarang, apalagi untuk melakukan kerja-kerja konstruktif lainnya.

Kembali ke Meunasah
MASIHKAH harapan berlabuh di dalam jiwa rakyat Aceh saat ini? Apakah kebijakan rekonstruksi untuk Aceh Baru telah sesuai dengan kehendak dan kebutuhan rakyat Aceh? Meski inisiatif rakyat Aceh tidak mendapat perhatian pemerintah dan agenda besar rekonstruksi berjalan terus, harus ada upaya konkrit untuk mengembalikan Aceh kepada ke-Aceh-annya sendiri. Salah satu simbol identitas lokal tersebut adalah Meunasah.

Konsep Meunasah dalam struktur masyarakat Aceh dimengerti sebagai mushalla desa. Namun meunasah bukan sekadar tempat beribadah. Ia adalah sebuah komunitas. Seperti asrama bagi anak laki-laki di desa yang tinggal di sana untuk belajar dan bekerja bersama-sama. Sebelum konsep meunasah ini dihilangkan sebagai akibat dari kebijakan pembangunan nasional, hampir seluruh kehidupan desa di Aceh berpusat di meunasah. Segala bentuk produk budaya juga lahir dari lingkungan meunasah. Ketika meunasah dihilangkan, Aceh seperti tercerabut dari akar budayanya. Gerak peradaban Aceh pun terhenti.

Maka rekonstruksi Aceh ke depan, baik dalam konteks fisik pembangunan blue print kota maupun “rekonstruksi sosial-budaya dan ekonomi-politik harus mempertimbangkan dimensi identitas lokal seperti meunasah tersebut. Pengabaian terhadap kearifan lokal justru hanya akan menggagalkan harapan dan impian bagi Aceh Baru sejak cangkul pertama rekonstruksi diayunkan.

JALAN panjang menuju Aceh Baru tampaknya masih harus diretas dan diperjuangkan. Meski aneka bantuan dan kerjasama ditawarkan toch sejauh ini belum ada agenda besar yang cukup komprehensif untuk Aceh. Baik di tingkat internasional, nasional maupun lokal. Apalagi agenda atau inisiatif program yang berakar pada kultur dan identitas Aceh yang mampu menjawab persoalan, kebutuhan dan kepentingan rakyat Aceh yang sudah puluhan tahun memanggul beban penderitaan. Dan harapan terwujudnya Aceh Baru yang lebih adil sejahtera, damai, bermartabat dan humanis penuh kasih kiranya tetap harus ditumbuhkan. Apalagi melihat kepercayaan diri rakyat Aceh yang tadinya tenggelam bersama tsunami mulai bangkit kembali.

Akankah Aceh berlabuh dan mendarat pada cita-citanya? Ataukah jalan tak berujung masih harus terus ditempuh? * * *