Thursday, November 30, 2006

Oposisi, Satu Bantal Dua Mimpi


Oleh: Michael Yudha W

SALAH satu pelajaran politik paling berharga yang dapat kita petik bersama dari tarik ulur kekuatan antara “kubu presiden” dan “kubu wakil presiden” dalam dua tahun terakhir ini adalah soal oposisi. Polemik UKP3R [Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi], kontroversi kenaikan BBM, dan perselisihan dalam menentukan posisi menteri dalam rumah tangga Republik, misalnya, adalah cermin dari keberadaan oposisi setengah hati alias banci. Baik kubu presiden dan wapres menikmati satu bantal kekuasaan yang sama tetapi dengan mimpi yang berbeda.
Sebagai suatu kekuatan anti status quo, oposisi seharusnya mampu dilembagakan secara formal guna menjalankan tiga fungsi politiknya; kritik, pertimbangan dan pengawasan terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa. Pelembagaan oposisi secara strategis, sistematis dan demokratis akan mampu mencegah berulangnya kembali dosa-dosa politik masa lalu seperti korupsi, kolusi dan nepotisme [KKN]. Pendek kata, pelembagaan oposisi menjadi keharusan bila masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial benar-benar mau dibumi-hanguskan dari persada nusantara.
Oposisi Machiavelian
Mengapa kekuatan oposisi dalam politik Indonesia mandul atau terkesan banci? Sejarah mencatat bahwa Soekarno, Soeharto dan Abdurrahman Wahid memang berhasil diturunkan dari kekuasaannya melalui konsolidasi kekuatan oposisi. Tetapi oposisi dalam ketiga kasus tersebut semata bersifat Machiavelian, haus akan darah kekuasaan sehingga segala cara yang melibatkan konspirasi dengan agen asing, politik kambing hitam, maupun fatwa agama dihalalkan sebagai senjata politik. Orientasi kerja kelompok oposisi selama ini hanya berkutat pada masalah menggulingkan dan merebut kekuasaan untuk kemudian dibagikan kepada sekutunya masing-masing. Dalam kasus Soekarno, hampir seluruh kekuataan oposisi saat itu langsung bermetamorfosis menjadi penguasa, rejim Orde Baru kemudian terbentuk dan mengakar kuat. Dalam kasus Soeharto, aksi politik metamorfosis oposisi paska lengser keprabon masih harus bertarung dengan kekuatan status quo pendukung Orba dan terpaksa melakukan kompromi politik akibat tiadanya strategi komprehensif yang kuat atas cara-cara penyelesaian politik paska penggulingan.
Dalam era Soekarno, bisa dikatakan bahwa oposisi tidak diperlukan karena masalah integrasi bangsa dan nasionalisme masih rawan. Maka Soekarno pun berusaha mengkonsolidasikan kekuatan politik nasional dengan jargon nasakom-nya. Gagasan cerdas Soekarno ini sebenarnya sejalan dengan pendapat Gellner [1983], dalam bukunya Nations and Nationalism, bahwa keberhasilan pembentukan negara bangsa memang harus melibatkan unsur kekuasaan, pendidikan dan kebudayaan. Pada konteks inilah ide jenius Soekarno terbukti berhasil memandulkan kekuatan oposisi tetapi sekaligus memanfaatkannya sebagai benteng pertahanan Indonesia dalam menghadapi kekuatan asing.
Disahkannya Pancasila sebagai dasar ideologi Negara Indonesia pada sisi lain ternyata juga berhasil mencegah tumbuhnya embrio oposisi. Sila Persatuan Indonesia yang sangat digandrungi Soekarno menjadi senjata ideologis untuk menumpas lawan-lawan politiknya, baik di dalam maupun di luar negeri. Soekarno menegaskan bahwa musuh bangsa yang utama adalah kolonialisme dan imperialisme. Jargon-jargon Soekarno pada era revolusi tersebut menjadi jamu yang sangat manjur agar rakyat tidak berpikir tentang kelemahan politik presidennya yang sudah memasuki stadium otoritarianisme politik. Demokrasi terpimpin yang diperkenalkannya adalah sebuah penyakit akut yang menggerogoti dan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Dalam teropong nasionalisme, usaha-usaha Soekarno memang berhasil. Tetapi dalam periskop demokrasi, sikap politik Soekarno tersebut lagi-lagi telah memandulkan embrio oposisi.
Soeharto setali tiga uang dengan Soekarno. Ketika melihat embrio oposisi mulai tumbuh subur, segera dibuatnya kebijakan pemangkasan partai-partai politik hanya menjadi dua partai dan satu golongan karya. Dirinya mengatakan bahwa “konsolidasi” politik penting agar mesin pembangunan berjalan lancar. Penerapan dwi-fungsi ABRI tidak lain sebagai fungsi pengawasan terhadap kemungkinan tumbuhnya gerakan oposisi di tingkat pedesaan – akar rumput. Agar tidak dianggap meniru Soekarno dengan nasakom-nya, Soeharto mengintegrasikan kekuatan ABG [militer, birokrasi dan Golkar] untuk memudahkan manajemen kepemimpinannya. Kebijakan massa mengambang dan politik rekayasa pemilu pada akhirnya semakin mengunci kesadaran rakyat untuk memainkan fungsi-fungsi oposisi.
Demikian tragedi politik di Republik ini, oposisi menjadi pekerjaan politik setengah hati yang diterapkan dengan semangat Machiavelian. Ketika kekuasaan didapat, detik itu juga kekuasaan dimanfaatkan untuk melanggengkan status quo sembari mengebiri habis embrio-embrio oposisi yang baru.
Rencana Strategis
Menurut Sukardi Rinakit, saat ini adalah momentum yang tepat bagi Golkar untuk menekan pemerintah dan keluar dari kerangkeng kekuasaan [Kompas, 14 November 2006]. Dengan kata lain, Sukardi menyarankan Golkar untuk secara total memainkan fungsi oposisi. Menurut saya, harapan Sukardi terlalu tinggi. Kalaupun Golkar bertekad menjadi oposisi, ia tidak mungkin seratus persen melepaskan bantal kekuasaannya. Nasi sudah menjadi bubur, Golkar telah berbagi bantal dengan Sang Presiden dan dirinya hanya bisa memiliki mimpi yang berbeda. Apalagi, secara kultur Golkar adalah partai penguasa yang terbiasa berada pada posisi puncak. Bahkan meski dukungan rakyat pada partai beringin ini menurun pada pemilu terakhir, para komprador, sekutu serta kekuatan jaringan partai ini masih berkuasa penuh dan berpengaruh secara signifikan atas hitam putihnya wajah Republik. Pun seandainya Golkar merubah haluan politiknya sebagai oposan, yang terjadi kemudian hari tidak akan lebih dari sekadar oposisi Machiavelian sebagaimana dijelaskan di atas. Mengharapkan angin perubahan politik dari Golkar ibarat punguk merindukan bulan.
Belajar dari kegagalan oposisi dalam sejarah politik kita, sudah saatnya memikirkan suatu rencana strategis untuk mengkonsolidasikan kekuatan oposisi dan pelembagaannya secara komprehensif demi kepentingan jangka panjang. Perspektif yang dipakai adalah untuk kesejahteraan rakyat serta keadilan sosial dan bukan semata demi perebutan dan pembagian kekuasaan. Jika tidak, kelompok oposisi yang kemudian hari berkuasa akan bertindak otoriter seperti di era Soekarno dan Soeharto atau justru berperilaku ibarat bunglon seperti di era Abdurrahman Wahid dan Megawati.
Pelembagaan oposisi secara strategis salah satunya dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan sosial yang mensinergikan kekuatan masyarakat sipil [rakyat]. Sejarah mencatat bahwa tidak ada kekuatan yang mampu menandingi kedigdayaan kekuatan rakyat selain kekuatan alam. Jika rakyat bersatu, suatu pemerintahan atau sebuah korporasi bisnis pun dapat tumbang dalam sekejap. Momentum ini seringkali datang tak terduga, tetapi telak dan menyadarkan penguasa dari mimpi panjang mereka.***

Diagram Venn Indonesia - Amerika


Diagram Venn Indonesia-Amerika
oleh: Michael Yudha

DALAM “dunia hubungan masyarakat” [Public Relations], tujuan dan esensi interaksi adalah terciptanya pemahaman bersama [mutual understanding] atas persoalan yang menjadi pengikat dalam interaksi tersebut. Kesepahaman bersama itulah yang secara jelas digambarkan dalam diagram venn pada logika matematika. Ada sebuah wilayah arsiran yang menjadi tanda bahwa bagian A tidak bisa dilepaskan dari bagian B. Demikian halnya kepentingan B akan memberi manfaat bagi tercapainya kepentingan A. Sementara sejumlah nilai-nilai “ke-Indonesia-an” bisa jadi sama dan ada dalam nilai-nilai “ke-Amerika-an”. Maka dalam konteks inilah sebenarnya titik temu antara Indonesia dan Amerika akan dapat dilihat secara obyektif serta transparan.
Meminjam konsepsi Giddens tentang peta politik global saat ini, maka hubungan bilateral Indonesia-Amerika secara umum dapat dipetakan dalam tiga titik temu. Pertama, hubungan antar negara [G to G; Governemnt to Government], hubungan ekonomi [M to M; Market to Market] dan hubungan personal; [P to P; Person to Person].

Hubungan G to G dikenal sebagai diplomatik-bilateral yang mengharuskan protokoler politik secara ketat. Sehingga simbol-simbol politik negara wajib dihormati. Wilayah “ring satu” ini sudah pasti mendapatkan perhatian yang serius dan menjadi daerah yang rawan dan tabu untuk “diserang”. Hubungan M to M disebut sebagai kerjasama ekonomi-perdagangan yang pada dasarnya dipengaruhi oleh watak survival of the fittest. Artinya, siapa yang lebih cerdik, berkuasa dan memiliki akses terhadap fasilitas pendukung, baik perangkat keras maupun lunak, dialah yang akan memenangkan pertarungan dalam bentuk himpunan modal dan akumulasi kesejahteraan. Sedangkan hubungan P to P umumnya bersifat humaniora-universal. Prinsip dan nilai yang dijadikan indikator keberhasilan hubungan ini adalah sejauh mana penghargaan terhadap martabat manusia dan hak-hak dasarnya dipraktekkan. Seringkali hubungan ini diwakili oleh kerjasama masyarakat sipil dalam bentuk bantuan hibah, teknis, konsultasi, pendampingan, pemberdayaan, loka-karya sampai pemberian beasiswa.

Diplomasi Humaniora
Berdasarkan informasi dari meja Presiden melalui juru bicaranya, Dino Patti Djalal, akan ada enam agenda untuk dibicarakan bersama Bush yang diharapkan bermuara lebih konkrit pada kerjasama bidang ekonomi [Kompas, 17/11]. Artinya, kunjungan Presiden Amerika kali ini masih menganggap bahwa hubungan G to G dan M to M lebih penting daripada hubungan P to P. Tentu saja hal ini wajar, sebab Bush adalah simbol kebijakan politik dan ekonomi Amerika. Dan konteks kedatangan Bush adalah kunjungan resmi kenegaraan. Sehingga pemerintah Indonesia dengan rasa hormat kepada tamunya [sesuai dengan kultur lokal bahwa tamu adalah raja] berusaha semaksimal mungkin membuat pertemuan menjadi aman, nyaman dan lancar. Hal mana membuat persiapan pengamanan dan penyambutan Sang Presiden begitu kompleks.
Di lain pihak, persiapan dimaksud bisa dikatakan telah menimbulkan teror tersendiri bagi rakyat Indonesia. Yaitu dalam bentuk pelarangan berbisnis kepada para PKL di sekitar Kebun Raya Bogor, penutupan ruas-ruas jalan, libur akademik dan pemutusan saluran komunikasi publik. Ironisnya, warga Bogor dan sekitarnya harus menanggung langsung kerugian ekonomi dan sosial akibat kunjungan diplomatik Bush.

Pada titik inilah, diplomasi humaniora seharusnya dijalankan oleh kedua belah pihak, baik pemerintahan Bush maupun SBY. Mereka seharusnya sadar bahwa kerugian sosial-ekonomi yang ditanggung oleh rakyat telah memberikan keuntungan politik bagi peningkatan hubungan bilateral Indonesia-AS. Tetapi kontribusi rakyat [warga Bogor dan sekitarnya] tersebut sudah sepatutnya mendapatkan “ganti untung”, misalnya dalam bentuk kucuran kredit lunak bagi para PKL, beasiswa kepada para murid atau transfer tekhnologi informasi.

Penting untuk diingat bahwa aktivitas politik kenegaraan sudah terlalu sering merugikan aktifitas publik – kerakyatan. Atas nama kepentingan nasional [negara], rakyat dipaksa untuk taat, mengalah dan dengan sendirinya menanggung kerugian. Tetapi tidak ada jaminan bahwa aktifitas kenegaraan tersebut, baik secara langsung maupun tidak, akan menguntungkan rakyat. “Ganti untung” dimaksud penting untuk diberikan sebagai simbol tercapainya mutual understanding antara negara dan rakyatnya. Dalam konteks demokrasi, inilah proses akomodasi politik yang harus dilakukan oleh pemerintah. Sebuah diplomasi humaniora untuk kembali mendapatkan kepercayaan rakyat.

Fenomena Bush
Di Amerika sendiri, Bush dicap sebagai seorang penjudi kakap yang kelewat berani mengambil resiko [Wallerstein, 2006]. Penjudi dengan watak seperti ini jelas potensial mengalami kekalahan yang besar juga. Presiden Bush telah menuai kekalahan tersebut dalam kasus Irak dan kemenangan Partai Demokrat. Proyek Bush untuk Irak dianggap gagal karena tidak mampu menciptakan stabilitas politik, pemerintahan yang ramah dan pembangunan bagi basis militer Amerika di Irak. Sedangkan kemenangan Partai Demokrat jelas menunjukkan antipati dan sikap politik rakyat Amerika terhadap kebijakan Bush. Dua hal ini menjadi stimulus politik yang sangat kuat bagi rakyat Indonesia dalam melancarkan aksi-aksi demonstrasi menentang kedatangan Bush.

Ketika kebijakan politik Bush telah dirasakan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi dan bahkan sudah dianggap menindas dan menghisap pihak lain, serangan protes serta kecaman tak lagi dapat dielakkan. Maka kecaman dan protes yang ditujukan kepada Bush harus dimaknai dalam konteks ketidaksetujuan atas kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Amerika. Seperti halnya serangan terhadap menara kembar WTC dan markas Pentagon oleh Osama bin Laden dan sekutunya, adalah bentuk nyata kebencian sebagian warga dunia atas kebijakan politik luar negeri Amerika.

Kebencian yang memuncak tersebut adalah kebencian kepada sikap politik pemerintahan Bush, bukan kebencian kepada warga negara Amerika per individu. Bahwa ada rakyat Amerika yang tidak bersalah dan menjadi korban, menurut “bahasa teroris”, hal ini dianggap sebagai tanggung jawab pemerintahan Amerika itu sendiri. Demikian aksi demonstrasi menolak kunjungan [baca: menolak kebijakan pemerintah AS] dipastikan tidak akan berhenti paska kunjungan Bush ke Bogor. Di masa depan, banyak kemungkinan munculnya aksi-aksi lain yang lebih besar jika pemerintah AS tidak melakukan perubahan kebijakan politiknya. Terutama terkait dengan ketidakadilan ekonomi global dan “intervensi demokrasi” pada negara-negara di wilayah Timur tengah, Amerika Latin dan Asia.

Terlepas dari pro-kontra hubungan Indonesia-AS dan pertemuan kedua presiden di Bogor, ruang kesepahaman bersama antara kedua-belah pihak sudah saatnya diperluas. Diagram Venn Indonesia-Amerika tidak melulu sepenuhnya bisa diperluas dengan hubungan G to G maupun M to M. Mengingat sensitivitas dan kompleksitas yang ada, tampaknya peningkatan hubungan P to P akan lebih memberikan hasil positif daripada dua bentuk hubungan lainnya. Hal ini berlaku untuk masa depan kedua negara ini, entah siapapun presidennya nanti.
Kasus bantuan untuk tsunami Aceh dan gempa Jogja misalnya, menjadi salah satu contoh bagaimana wajah Amerika yang humanis mendapatkan hati bagi masyarakat Aceh dan Jogja. Tetapi perluasan diagram venn Indonesia-Amerika melalui pola hubungan P to P ini perlu dikembangkan lagi secara lebih komprehensif, melalui upaya strategis yang sinergis, hal mana menjadi PR kita bersama. * * *

Wednesday, November 01, 2006

Kios Sabina, Wajah Lain Globalisasi



By Michael Yudha W

APAKAH anda pernah melihat sebuah kios? Sungguhkan anda telah mengenalinya? Sebuah kios dimana aneka dagangan rokok, minuman ringan dalam kaleng, obat nyamuk, sampo, sabun, tissue, permen, obat generik dan makanan ringan seperti kacang kulit, wafer, serta biskuit ini tertata rapi berjajar, bertumpuk serta menggelantung pada sebuah kios kecil dekat perempatan jalan. Di simpang tersebut, kepadatan lalu lintas dan kebisingan jalanan memekik bercampur debu, terik matahari dan hasrat manusia untuk bertahan hidup menjadi teman keseharian bagi Sabina Tambunan, Si Empunya warung. Toch janda beranak satu [kini duduk di bangku SD kelas enam] ini selalu terlihat ceria dalam obrolan bersama tukang parkir, pengamen, pemain catar jalanan, “mandor angkot” ataupun pembeli yang mendatangi kiosnya.

“Ya… beginilah Bang, namanya juga cari makan. Yang penting tidak bikin susah orang lain,” bicaranya ringan tanpa beban disertai seulas senyum ketika saya singgah sesaat membeli teh botol dingin usai melakukan assessment di daerah Mandala, pemukiman kumuh dekat rel kereta api. Kios Sabina memang bukan satu-satunya kios yang beroperasi di wilayah tersebut. Jika kita ambil titik tengah perempatan jalan sebagai pijakan awal dan terus berjalan ke arah Utara, Selatan Barat atau Timur, maka akan kita jumpai puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan kios seperti dimiliki Sabina di sepanjang jalan yang entah akan berakhir di mana ujungnya. Belum termasuk ribuan kios lainnya yang bertebaran berhimpit dan berdesakan memenuhi pedalaman pasar-pasar tradisional. Bila dilihat dari ukurannya, kios-kios tersebut luasnya rata-rata hampir sama dengan luas enam lantai keramik yang menghiasi mal-mal mewah di kota Medan ini.

Ketidakadilan Global

Pada hakekatnya, dalam dunia dagang yang mengambil bentuk kios sebagaimana dikelola Sabina tersebut, tidak ada yang berubah antara yang “tradisional” dengan apa yang disebut “modern” yang umumnya disimbolkan oleh kehadiran mal. Keduanya bermuara pada usaha mengejar laba. Masalah tampilan kios, faktor kenyamanan dan manajemen pengelolaan lebih merupakan akibat dari usaha untuk bertahan, sebuah jawaban dari prinsip ”survival of the fittest”. Sebab dalam jagad perdagangan berlaku juga hukum rimba bahwa yang terkuatlah yang akan menang.
Dus, apa yang dikatakan Arief Budiman memberikan deskripsi yang jelas tentang masalah perdagangan ini. “Saya kira seperti masalah pedagang kecil dan pedagang besar. Pedagang kecil bisa bertarung, tetapi selama mereka tidak memiliki modal yang besar dan teknologi, mereka akan dikuasai pedagang besar. Modal dikuasai pedagang besar, pasar juga dikuasai mereka. Misalnya kita kalau mau ekspor ke Inggris atau negara besar, kita harus melalui calo mereka juga. Kalau kita buka jaringan sendiri tidak mungkin,“ demikian pidatonya dalam sebuah acara penerimaan Achmad Bakrie Award di Jakarta pada pertengahan Agustus 2006 lalu. Sosiolog penantang teori modernisasi tersebut diganjar uang seratus juta rupiah karena dianggap berperan penting dalam melakukan suatu terobosan dalam menggelorakan sebuah ide dalam khazanah ilmu-ilmu sosial di Indonesia, terutama dalam masalah pembangunan dan modernisasi.
Dalam konteks globalisasi seperti gerak masyarakat dunia saat ini, keberadaan dan pertumbuhan mal yang demikian pesat semakin mempertegas keterkaitan antara pedagang besar, modal, teknologi dan pasar sebagaimana dikatakan Arief. Sehingga kios milik pedagang kecil seperti Sabina pun tidak lagi memiliki alternatif lain selain [tidak bisa tidak] harus menjual “barang-barang global” milik pedangan besar [korporasi]. Pun masih disertai keharusan lainya, bahwa mereka “hanya boleh” mengambil sedikit keuntungan yang besarnya sudah ditentukan juga oleh pasar. Kesempatan untuk menjual barang lain juga semakin tertutup manakala para pedagang besar ini juga telah menguasai rantai distribusi secara kuat. Tidak terlihat lagi barang-barang produksi warga lokal “asli” seperti limun atau rokok kretek. Semuanya telah menghilang dari pasaran. Gempuran iklan dari korporasi global mungkin telah menyingkirkan dan menguburnya. Bahkan meski para pemodal besar tersebut tinggal ribuan kilometer nun jauh di belahan bumi sebelah Utara sana - dengan segala fasilitas dan kenyamanan dari laba besar yang mereka peroleh dari “barang-barang global” yang dijual penuh jerih payah oleh seorang pedagang kecil seperti Sabina - tali kendali pasar senantiasa dalam genggaman mereka.

Kios besar [mal] yang dikelola pedagang besar bermodal besar [korporasi] umumnya harus berkompetisi ketat untuk memenangi persaingan.
Dengan segala cara mereka berusaha memperbesar keuntungan dengan semakin menekan pengeluaran. Sikap rakus, tamak dan watak gigantik ini barangkali sudah menjadi roh globalisasi. Sebaliknya, para pedagang kecil seperti Sabina justru tidak perlu khawatir akan masalah kompetisi dagang tersebut. Menurutnya, di antara mereka [sesama pemilik kios pinggir jalan] tidak pernah merasa bersaing atau sengaja melakukan usaha untuk menjatuhkan kompetitornya. “Namanya berusaha, pastilah ada rejekinya masing-masing. Sudah ada itu yang mengatur [Sabina percaya bahwa Tuhan turut campur tangan dalam hal memberikan rejeki untuk seseorang]. Jadi tidak ada itu niat jahat atau persaingan. Lagi pula kios ini kan untungnya masih kecil, tapi cukuplah untuk biaya makan hari ini,” wanita bertubuh tambun namun gesit dalam kerja tersebut mengakui setidaknya ada sedikit perubahan penghasilan dari kerja sebelumnya sebagai tukang cuci pakaian selama tiga tahun sejak suaminya meninggal.
Demikianlah kenyataan globalisasi menghadirkan anomali dan paradoksnya sendiri. Sang Pemenang masih merasa tidak puas atas kepemilikan dan hasil yang telah dicapainya sementara Si Pecundang terpaksa “berdamai” dengan ketidakadilan yang menghantamnya dalam kehidupan sehari-hari. Dan Joseph Stiglitz, ekonom pemenang Nobel tahun 2001 pernah memberikan peringatan yang tajam atas ketidakadilan akibat globalisasi ini. “Yang menjadi catatan penting dari globalisasi adalah semakin lebarnya kesenjangan antara janji dan kenyataan, semakin banyak pihak yang kalah dan sedikit pemenang, semakin deras aliran uang dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya padahal yang terjadi seharusnya adalah sebaliknya,” kritiknya dalam Financial Times edisi 8 september 2006.

Spiritualitas Sabina
Pada diri Sabina, semangat dagang terlihat begitu besar tetapi juga memiliki batasan etis. Membuka kiosnya sejak jam delapan pagi hingga jam delapan malam jelas menunjukkan kerja keras dan ketekunan yang dimilikinya. Tetapi kemampuan diri menerima keuntungan yang hanya berkisar antara seratus hingga dua ratus ribu rupiah selama hampir dua belas jam lebih menjaga kiosnya di tepi jalan yang panas, bising dan sumpek jelas bukan pekerjaan yang nyaman. Toch sejak menerima bantuan keuangan mikro dari CORDIA lima bulan yang lalu, Sabina justru semakin bersemangat. Mimpi memiliki toko yang lebih besar disimpannya kuat dalam ingatan perempuan tamatan SMA ini. Meski ia sendiri tidak yakin kapan mimpi itu akan terwujud.

Sabina adalah orang biasa dengan semangat luar biasa. Tentu ada sesuatu yang menjadi keyakinanya. Ada kalkulasi kepercayaan yang menjadi dasar etika usaha yang dimiliki Sabina. Meski bukan seorang Calvinist [Sabina memeluk agama Katholik] namun semangat berwirausaha Sabina tidak kalah dengan spirit Etika Protestan yang melanda Eropa pada awal abad keduapuluh. Tetapi mungkin juga karena atmosfer masyarakat Indonesia yang cenderung mistik dan religius dimana agama menjadi salah satu tempat melepas beban sekaligus oase bagi kepenatan hidup. Sabina akhirnya mampu menerima diri sendiri apa adanya. Berdamai dengan masa lalu bersama konflik pribadi yang dialaminya.

Tetapi penerimaan diri Sabina tidak identitik dengan menyerah pada nasib, melainkan menerima kenyataan hidup sebagaimana adanya dan dengan demikian menumbuhkan sikap serta semangat untuk bekerja demi hidup yang lebih baik. Inilah etos kerja yang dimiliki Sabina. Tidak rakus dan tamak hingga sampai dan dengan sengaja merugikan orang lain sebagaimana umumnya watak kapitalisme, tetapi tekun dan keras dalam perjuangan hidup meski hasil baru sejumput. Sebuah prinsip yang patut mendapat acungan jempol. Sebab dengan tidak merugikan pihak lain, Sabina sejatinya telah mampu menempatkan martabat orang per orang sejajar dan sama nilainya dengan dirinya sendiri.

“Kalau dipikir-pikir setiap orang kan pasti punya masalah. Tapi bukan berarti kita harus berpura-pura untuk tidak mau peduli dengan masalah orang lain kan?. Saya senang ketika datang ke gereja meminta bantuan dan ternyata pastor paroki mau memberikannya. Inilah awal mula saya kenal CORDIA dan mendapatkan bantuan,” ceritanya. Meski termasuk kategori orang miskin, Sabina masih merasa bahwa dirinya adalah orang yang cukup beruntung. Tentunya jika dibandingkan dengan kondisi dan jumlah orang miskin di wilayah Medan dan sekitarnya.

Sebagaimana dicatat oleh BPS tahun 2003, jumlah keluarga miskin di Medan mencapai 113.449 KK dari total keluarga sebanyak 412.024 KK atau sama dengan 2.010.676 jiwa. Sedangkan jika diambil populasi di propinsi Sumatera Utara yang mencapai 12.123.360 jiwa atau 2.621.333 KK, di dalamnya terdapat 966.299 KK miskin. Angka-angka kemiskinan ini akan semakin meningkat jika digabungkan dengan jumlah penduduk miskin dunia.

Tetapi kemudian, apakah kita benar-benar percaya bahwa takdir manusia sudah ditentukan oleh “invisible hands”? Jika Sabina percaya bahwa takdir manusia ditentukan oleh usahanya sendiri, melalui kerja keras dan ketekunan misalnya, sebagaimana ia lakukan sendiri selama hidupnya namun ironisnya belum menampakkan perubahan hidup yang lebih baik, lantas kepada siapa kita harus berpaling? Jika takdir seorang pedagang kecil pinggir jalan, jutaan Sabina lainnya, terlihat telah ditentukan oleh gerak globalisasi, oleh “the invisible hands”, maka cerita tentang jalan hidup mereka tak ubahnya seperti pantulan cermin kehidupan Sysiphus.

Seperti tuturan mitologi Yunani tentang Sysiphus, demikian takdir manusia harus dijalani. Oleh karena sebuah kutukan yang kita tidak tahu siapa yang menyebabkannya Dan dari mana asalnya, Sysiphus akan selalu membawa batu besar di punggungnya sembari mendaki gunung hingga mencapai puncak sebagai tujuannya. Tetapi nahas nasib berkata lain, Sysiphus jatuh bersama batu besar tersebut dan menggelinding ke bawah. Dan ia harus memanggul batu tersebut dan mendaki gunung kembali, namun terjatuh kembali di tengah perjalanan dan kembali merangkak dari bawah. Demikian berulang kali Sysiphus jatuh bersama batu beban hidupnya untuk kemudian memulai langkah awal mendaki gunung. Dan kesekian kalinya cerita ini berulang, terjatuh dan mendaki lagi, jatuh dan naik kembali, lagi… dan lagi…
Lalu percayakah kita bahwa ketidakadilan global yang berlangsung dalam masyarakat dunia saat ini sungguh tidak dapat diubah? Haruskah kita biarkan jutaan Sabina lainnya bernasib dan menjalani takdir hidupnya seperti Sysiphus?* * *

Sumpah Pemuda, Sumpah Anti Korupsi





Michael Yudha W

JANUARI 1970, mahasiswa Indonesia membanjiri jalanan ibukota Jakarta. Mereka melakukan demonstrasi menentang korupsi yang sudah menjamur di tubuh birokrasi-pemerintah Republik. Sejarah mencatat, aksi ini merupakan demonstrasi anti-korupsi terbesar dalam kurun waktu 25 tahun sejak Indonesia diproklamasikan.

Aksi ini bahkan sempat mengancam stabilitas pemerintahan Soeharto yang sedang bergiat membangun fondasi ekonomi nasional. Saat itu, pasukan khusus dari angkatan bersenjata dikerahkan untuk menghadapi gerakan demonstrasi mahasiswa. Untuk meredakan ketegangan, Soeharto akhirnya menunjuk Komisi IV guna melakukan tinjauan dan memberikan rekomendasi konkret demi perbaikan selanjutnya. Dengar pendapat maraton kamudian digelar oleh Komisi selama beberapa bulan. Kalangan media, mahasiswa dan tokoh-tokoh politik nasional mengeksperikan pandangan mereka.

Di bulan Agustus, tepat di hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-25, genderang perang melawan korupsi itu ditabuh. “Seharusnya tidak perlu ada lagi keraguan, saya sendiri akan memimpin perjuangan melawan korupsi,” demikian pernyataan Presiden Soeharto dalam pidato nasional usai membacakan naskah proklamasi. Sungguh sebuah aksi Public Relations yang cantik dan mujarab tetapi tragis. Sebab fakta sejarah kemudian menyajikan cerita lain; gurita korupsi justru semakin menjadi, menciptakan wabah kemiskinan dan pengangguran bagi jutaan rakyat Indonesia serta merebaknya kekerasan sosial tanpa henti di seluruh pelosok nusantara. Dan akhirnya, Sang Jenderal Besar terpaksa lengser keprabon.

Di hari ke-14 September 2004, pasangan calon presiden dan wakilnya, Susilo Bambang Yudhoyono [SBY] dan Muhamad Jusuf Kalla [MJK] menggelar sebuah acara penajaman visi dan misi yang disiarkan oleh sejumlah stasiun televisi. SBY sendiri menyatakan, ”Saya akan memimpin langsung pemberantasan korupsi di negeri ini...” Janji tersebut ditegaskannya dalam dokumen “Membangun Indonesia yang Aman, Adil dan Sejahtera” yang menguraikan program kerja SBY-MJK pada masa kampanye. Dokumen tersebut mencatat bahwa sasaran pemberantasan korupsi adalah “berkurangnya secara nyata praktek korupsi di birokrasi, dan dimulai dari tataran pejabat yang paling atas.”

Kampanye politik Public Relations tersebut akhirnya diikuti dengan keberhasilan duet SBY-MJK sebagai Presiden RI yang terpilih secara langsung oleh lebih dari enam puluh persen rakyat Indonesia. Dua tahun sejak menjabat sebagai Presiden RI, jumlah penduduk miskin bertambah mencapai 39 juta per Maret 2006, pengangguran menghinggapi 11,1 juta warga dan peringkat Indonesia sebagai negara yang menarik bagi investasi justru turun drastis ke posisi delapan di bawah Rusia dan Korea Selatan [menurut Survey Japan Bank for International Cooperation, November 2005].

Sintesa Korupsi

Apa sintesa yang bisa dipetik dari hubungan kekuasaan dengan korupsi dari kasus Soeharto dan SBY tersebut? Pertama, sejarah mencatat bahwa gerakan anti korupsi yang dicanangkan pemerintah selalu menjadi lips service semata guna mencari dukungan publik untuk proses akumulasi kekuasaan dan kapital guna kepentingan status quo. Korupsi dalam pengertian usaha penggunaan sumber-sumber publik untuk tujuan pribadi [Theodore M. Smith] yang melibatkan elite politik jelas merupakan korupsi tingkat tinggi. Korupsi jenis ini umumnya bertujuan untuk menghimpun kapital.

Tetapi masalahnya kemudian, ke mana kapital itu akan digunakan? Untuk reinvestasi kembali di dalam negeri atau justru diekspor ke luar negeri? Menurut Smith, korupsi untuk tujuan reinvestasi dalam negeri umumnya digunakan dalam bentuk proyek konstruksi “urban housing”. Dari sini, sektor riil digerakan untuk memacu roda ekonomi dan pertumbuhan nasional. Tetapi pertumbuhan ini akan bersifat maya sebab dana yang digunakan adalah hasil korupsi. Barangkali kasus kredit macet yang dialami secara masif dalam dunia usaha di Indonesia beberapa tahun lalu – dan belum tuntas jelas hingga sekarang – menjadi indikasi bahwa dana korupsi di Indonesia memang dilarikan untuk reinventasi melalui proyek-proyek konstruksi. Sedangkan “pelarian modal” ke luar negeri oleh pengusaha kakap Indonesia yang terkait kasus korupsi menjadi penanda kedua bahwa korupsi di Indonesia juga bertujuan untuk mengekspor kapital.

Kedua, korupsi dapat menghancurkan aset potensial negara seperti antusiasme, idealisme dan simpati generasi muda bangsa, karena pelajar dan pemuda merupakan pemimpin masa depan serta pembaharu ekonomi [economics moderniser]. Semangat juang dan idealisme kaum muda Indonesia seringkali berbenturan dengan kenyataan yang mereka saksikan di lapangan kehidupan riil. Solidaritas dan empati mereka atas ketidakadilan sosial dan kemiskinan misalnya, segera mengerucut pada aksi-aski demonstrasi pro rakyat. Pada titik ini, demontrasi menentang korupsi telah menjadi sikap politik riil. Dan akhirnya, korupsi lebih cenderung merupakan persoalan politik ketimbang ekonomi. Korupsi akut yang menggurita dalam tubuh birokrasi jelas mereduksi produktifitas pemerintah. Akibatnya, korupsi mampu mengurangi dukungan kepada pemerintah baik di level nasional maupun di level propinsi dan kabupaten/kota.

Ketiga, sebagaimana dikatakan Bung Hatta bahwa korupsi sudah menjadi seni dan bagian dari budaya Indonesia [Indonesian Observer, 2 Juli 1970], maka upaya hukum dalam penanggulangan korupsi harus diikuti oleh gerakan pembaharuan budaya. Sebab watak birokrasi Indonesia semata-mata memang mewarisi langsung tabiat korup pegawai firma dagang kolonial VOC yang gemar memperkaya diri [serta menjadi salah satu penyebab kehancuran VOC itu sendiri]. Dan sejak jaman Mataram budaya ewuh pakewuh semakin dikokohkan dengan penyingkiran para priyayi yang kritis terhadap kebijakan dan perilaku atasan mereka.

Alternatif Strategi

Dalam dunia politik Indonesia, situasi lebih kompleks dan tidak stabil sehingga dapat berubah secara dramatis dalam tempo yang singkat. Gerak bandul stabilitas politik dapat ditentukan oleh kuat lemahnya dukungan terhadap gerakan anti korupsi dan pemberantasan korupsi. Semakin kuat dukungan diberikan, semakin mantap arah gerak bandul pada perubahan sosial yang menjadi harapan rakyat banyak.

Jika pada tahun 1998 gerakan politik nasional terpolarisasi antara pro status quo dan anti status quo [reformasi], kini saatnya mengalihkan energi rakyat menuju pada penggalangan kekuatan gerakan anti korupsi dengan cara-cara damai dan legal. Karena pengaruhnya yang besar terhadap hajat hidup orang banyak, korupsi dapat menjadi isu politik abadi yang secara moral sangat patut untuk diperjuangkan melalui beragam model gerakan anti korupsi. Misalnya melalui proses advokasi, kampanye penyadaran publik, riset maupun diseminasi informasi. Strategi ini akan semakin terasa dampaknya bila didukung oleh media massa, aparat hukum dan sikap politik pemerintah.

Alternatif strategi lain yaitu dengan melakukan pelacakan terhadap rekening konsultan hukum koruptor. Umumnya para koruptor memiliki pengacara. Melalui pengacaranya, para koruptor memberikan “surat kuasa pengacara” [hak tanda tangan yang sangat kuat] kepada pengacara yang bekerja untuk dirinya. Nah, pengacara inilah yang akan membuat perjanjian sejenis dengan pengacara kedua, demikian seterusnya secara berantai, sehingga pada akhirnya pengacara kesekian [baik atas nama perseorangan maupun atas nama firma mereka] tidak mengetahui lagi dari mana sumber uang yang mereka tangani. Cara ini sangat aman karena setiap pengacara hanya memiliki sedikit informasi dari pengacara sebelumnya. Bahkan setiap anggota mata rantai hanya berhubungan dengan individu di atasnya. Sehingga untuk membongkar jaringan ini harus dimulai dengan mengidentifikasi pihak pertama dalam mata rantai tersebut, yaitu pengacara yang secara langsung berhubungan dengan koruptor atau tersangka koruptor.

Memasuki tahun ketiga usia kepemimpinan SBY-MJK, ada baiknya kedua strategi tersebut segera dijalankan. Tentu dengan harapan agar rakyat yang telah babak belur dihantam bencana dan menderita penyakit kemiskinan akut dapat segera sedikit keluar bernafas dari kubangan lumpur ketidakadilan sosial. Korupsi harus menjadi musuh bersama yang diperjuangkan sepanjang masa, hingga masyarakat adil makmur sejahtera benar-benar terwujud di persada nusantara.

Barangkali, momen Sumpah Pemuda menjadi saat yang tepat untuk memekikkan lantang sumpah anti korupsi bangsa Indonesia, yang disertai dengan aksi-aksi riil dengan gagah berani. * * * [Penulis adalah Peneliti Mandiri dan Mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta 1997-1998, kini tinggal di Medan]