Thursday, July 27, 2006

Aceh: The Never Ending Road?


Michael YUDHA Winarno


“Setiap krisis merupakan kesempatan besar bagi jiwa agung untuk muncul dalam panggung kehidupan, semoga jiwa agung itu adalah Anda.” [Napoleon Bonaparte]



KRISIS yang disertai bencana hebat seringkali memiliki dampak yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Baik dari skala kualitas maupun kuantitas. Misalnya perubahan iklim di Eropa yang menyebabkan kegagalan panen kentang di Irlandia, adalah akibat langsung dari letusan Gunung Tambora yang lebih dahsyat dari Krakatau pada awal abad ke-19. Petani-petani miskin dan kelaparan dari Irlandia kemudian bermigrasi secara besar-besaran ke Amerika. Dan siapa yang dapat menduga bahwa Amerika kelak dipimpin oleh Kennedy yang keturunan Irlandia. Lalu dengan membaca situasi tersebut, orang Indonesia bisa juga mengatakan bahwa keturunan Kennedy adalah Indonesia. Sebab nenek moyangnya menjadi orang Amerika gara-gara letusan vulkanik Tambora di Sumbawa.

Bencana dahsyat Tsunami di hari Natal [untuk zona waktu Eropa] yang menerjang Aceh memang telah menghancurkan sekaligus melahirkan drama horor kemanusiaan yang luar biasa. Kengerian yang hadir secara nyata di Aceh bahkan dikatakan sebagai bencana paling hebat di abad ini. “Lebih mengerikan dari peperangan yang pernah saya alami selama hidup,” demikian komentar Jenderal Colin Powell dalam kunjungan kemanusiaannya ke Aceh awal Januari lalu.

Tetapi Tsunami lain justru pernah menyelematkan Jepang dari serbuan pasukan Khubilai Khan. Duapuluh ribu tentara Mongol batal menyerbu wilayah Kyusu ketika gulungan ombak setinggi 30 meter menyapu habis pasukan Khan tersebut di tahun 1274. Sayangnya, delapan abad kemudian “keajaiban Tsunami” yang pernah dinikmati Jepang berubah menjadi bencana. Tragedi Okhusiri 1993 yang menewaskan 200 orang menjadi titik balik kebangkitan dan dijawab oleh Jepang dengan pembangunan benteng anti tsunami sepanjang 14 kilometer garis pantai dengan ketinggian 12 meter. Sea walls megah tersebut akhirnya berhasil mengembalikan Okushiri sebagai kawasan wisata yang indah.

Makna apa yang kemudian dapat dipetik dari kisah-kisah di atas? Dapatkah Aceh mencontoh Okushiri atau akankah seorang Kennedy lahir dari Aceh paska Tsunami? Selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Dan kejadian hari ini tentu masih memiliki koneksi dengan masa lampau. Sebentuk ingatan kemudian dibentangkan.

Dilema Konflik Aceh
SAYANG seribu sayang, cerita tentang Aceh seratus tahun terakhir adalah panggung teater yang penuh dengan aksi laga kekerasan, ketidakadilan, kemelaratan serta kebodohan. Di bawah kendali rejim Orde Baru, Aceh menjadi medan konflik politik yang bersumber dari ketidakadilan ekonomi dan kebijakan sentralistik pemerintah. “Jakarta” seolah menutup mata dan tidak pernah memperhatikan kepentingan serta kebutuhan rakyat Aceh.

Pendekatan militeristik dengan berbagai jenis operasi milter, darurat sipil hingga penetapan sebagai wilayah dengan otonomi khusus ternyata bahkan tidak mampu menyelesaikan masalah. Aceh masih dan tetap menjadi wilayah tertutup dan terisolir dengan kompleksitas persoalan di dalamnya. Bahkan dari duapuluh satu kabupaten/kota yang terdapat di provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam, enambelas diantaranya masuk dalam kategori Daerah Tertinggal.

Dalam kehidupan keseharian, rakyat Aceh selalu diposisikan seperti tahanan penjara dan dibatasi ruang geraknya. Blokade sosial yang ditimpakan kepada mereka bahkan telah merampas hak-hak dasar rakyat Aceh sebagai manusia yang otonom dan merdeka. Kebebasan berbicara, menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul dirampas begitu saja meskipun hak-hak tersebut telah diakui dalam UUD Negara Republik Indonesia.

Orang boleh mengatakan bahwa Tsunami membuat isolasi atas Aceh menjadi terbuka. Aceh kemudian menjadi desa global di mana perhatian dan bantuan internasional bebas keluar - masuk. Tetapi tidak bagi rakyat Aceh sendiri. Kehendak rakyat Aceh mengadakan pertemuan untuk merumuskan agenda bersama meretas jalan menuju Aceh Baru paska Tsunami justru dilarang oleh Penguasa Darurat Sipil. Pertemuan atau “Duek Pakat Warga Nanggroe” yang rencananya diadakan di Takengon – Aceh Tengah, pertengahan Februari lalu pun terpaksa harus dipindahkan ke Medan. Meski demikian, pertemuan masih dihadiri oleh lebih dari 100 perwakilan organisasi sipil dan lembaga sosial dari 21 kabupaten/kota di provinsi Nanggroe Aceh Darrusslam serta seluruh elemen sipil Aceh lainnya. Dan ini adalah pertemuan pertama yang berupaya merumuskan pemulihan rekonstruksi Aceh dari sudut pandang orang Aceh sendiri. Dapat dibayangkan betapa menderitanya rakyat Aceh. Hanya sekadar bertemu untuk membicarakan persoalan mereka sendiri saja dilarang, apalagi untuk melakukan kerja-kerja konstruktif lainnya.

Kembali ke Meunasah
MASIHKAH harapan berlabuh di dalam jiwa rakyat Aceh saat ini? Apakah kebijakan rekonstruksi untuk Aceh Baru telah sesuai dengan kehendak dan kebutuhan rakyat Aceh? Meski inisiatif rakyat Aceh tidak mendapat perhatian pemerintah dan agenda besar rekonstruksi berjalan terus, harus ada upaya konkrit untuk mengembalikan Aceh kepada ke-Aceh-annya sendiri. Salah satu simbol identitas lokal tersebut adalah Meunasah.

Konsep Meunasah dalam struktur masyarakat Aceh dimengerti sebagai mushalla desa. Namun meunasah bukan sekadar tempat beribadah. Ia adalah sebuah komunitas. Seperti asrama bagi anak laki-laki di desa yang tinggal di sana untuk belajar dan bekerja bersama-sama. Sebelum konsep meunasah ini dihilangkan sebagai akibat dari kebijakan pembangunan nasional, hampir seluruh kehidupan desa di Aceh berpusat di meunasah. Segala bentuk produk budaya juga lahir dari lingkungan meunasah. Ketika meunasah dihilangkan, Aceh seperti tercerabut dari akar budayanya. Gerak peradaban Aceh pun terhenti.

Maka rekonstruksi Aceh ke depan, baik dalam konteks fisik pembangunan blue print kota maupun “rekonstruksi sosial-budaya dan ekonomi-politik harus mempertimbangkan dimensi identitas lokal seperti meunasah tersebut. Pengabaian terhadap kearifan lokal justru hanya akan menggagalkan harapan dan impian bagi Aceh Baru sejak cangkul pertama rekonstruksi diayunkan.

JALAN panjang menuju Aceh Baru tampaknya masih harus diretas dan diperjuangkan. Meski aneka bantuan dan kerjasama ditawarkan toch sejauh ini belum ada agenda besar yang cukup komprehensif untuk Aceh. Baik di tingkat internasional, nasional maupun lokal. Apalagi agenda atau inisiatif program yang berakar pada kultur dan identitas Aceh yang mampu menjawab persoalan, kebutuhan dan kepentingan rakyat Aceh yang sudah puluhan tahun memanggul beban penderitaan. Dan harapan terwujudnya Aceh Baru yang lebih adil sejahtera, damai, bermartabat dan humanis penuh kasih kiranya tetap harus ditumbuhkan. Apalagi melihat kepercayaan diri rakyat Aceh yang tadinya tenggelam bersama tsunami mulai bangkit kembali.

Akankah Aceh berlabuh dan mendarat pada cita-citanya? Ataukah jalan tak berujung masih harus terus ditempuh? * * *

3 comments:

Anonymous said...

hello
i know ur blog from google, pas nyari bahan ttg aceh untuk seminarku.i'm also from aceh actually.
i try to write u an email, but i cant do it, cuz i think maybe my computer have a little problem.too bad.
ok, sukses terus.

Anonymous said...

hello
i know ur blog from google, pas nyari bahan ttg aceh untuk seminarku.i'm also from aceh actually.
i try to write u an email, but i cant do it, cuz i think maybe my computer have a little problem.too bad.
ok, sukses terus.

Anonymous said...

great - you are very talented. wish you success in all your endeavors.

ating