Thursday, July 27, 2006

Reformasi, A Mission Impossible


oleh: Michael Yudha W


O Tempora! O Mores! [Cicero, 106-43 SM]
Oh, zaman apakah ini! Akhlak macam apakah ini!

KUTIPAN pembuka pidato Cicero, politikus Roma di hadapan Senat Romawi 8 November 63 SM lampau kembali bergema di persada nusantara yang sedang digonjang-ganjingkan oleh prahara alam dan manusia. Mendadak rakyat mendapat kejutan hadiah pada ulang tahun sewindu reformasi, penghentian kasus hukum mantan Presiden Soeharto! Ada apa gerangan? Benarkah reformasi sungguh-sungguh terjadi?

Apakah issue ini sengaja dirilis media massa sebagai bagian dari strategi agenda setting untuk sekadar meningkatkan tensi politik karena Mei merupakan “bulan keramat”? Atau karena jubah politik sudah kotor [Kompas, 10/05/06] dan janji “Bersama Kita Bisa” benar-benar tinggal janji, maka demo buruh dan amuk massa rakyat dengan campuran tafsir politik kejawen atas fenomena alam gunung Merapi dapat dijadikan petunjuk bahwa mahasiswa Indonesia harus bersiap-siap kembali untuk melakukan aksi ekstra parlementer secara masif dan serentak? Bagaimana sebaiknya memahami kejutan-kejutan sosial yang semakin menjamur di bulan perlambang kebangkitan kesadaran rakyat ini?

Tiga Ilusi Reformasi
Minimal ada tiga fakta di seputar gerakan mahasiswa, demonstrasi buruh dan amuk massa rakyat Mei 1998 lalu dengan Mei 2006 ini yang akhirnya hanya melahirkan ilusi reformasi. Pertama, reformasi 1998 yang dimotori mahasiswa baru mendapat dukungan kelompok buruh “hanya” seminggu menjelang lengser keprabon Presiden Soeharto. Rasa gemas aktivis mahasiswa melihat lambatnya respon gerakan buruh waktu itu begitu tinggi. Pun demikian sejumlah aktivis mahasiswa dapat memahaminya mengingat dampak krisis ekonomi benar-benar terasa menghajar dan melumpuhkan ekonomi buruh hingga ke titik nadir sehingga mereka tidak memiliki cukup “tenaga” untuk mengkonsolidasikan suatu gerakan. Apalagi, upaya sistematis untuk memandulkan gerakan buruh telah dikerjakan oleh Orde Baru sejak dini paska tragedi 1965 dengan dihimpunnya kaum buruh yang bersekutu dengan tentara dalam FBSI [Federasi Buruh Seluruh Indonesia], kemudian dikenal sebagai SPSI [Serikat Pekerja Seluruh Indonesia].

Sebaliknya demonstrasi buruh di Mayday lalu yang berlanjut dengan “aksi kejutan” 3 Mei yang sempat menyebabkan kerusakan infrastruktur jalan ibukota, nyata belum diiringi dengan dukungan masif gerakan mahasiswa. Kondisi ini bertolak belakang dengan kejadian sewindu lalu dan menjadi tanda bahwa reformasi tidak sekaligus berhasil mempererat simpul-simpul demokrasi antara gerakan mahasiswa dengan elemen buruh. Memang reformasi mampu melahirkan berbagai organisasi buruh, ratusan LSM yang memperjuangkan nasib buruh dan beragam kelompok diskusi mahasiswa pro buruh. Toh secara substantif belum berhasil membuat sebuah jala sosial yang dalam situasi dimana buruh dirugikan maka jala ini dapat dipakai untuk menangkap penjahat kakap pengambil kebijakan yang tidak populis dan tidak pro buruh.

Bahwa pertemuan bipartit buruh-pengusaha dinilai sebagai langkah progresif di satu sisi mencerminkan keberhasilan diplomasi jalanan gerakan buruh. Kedua belah pihak selanjutnya diharapkan mampu memajukan negara dan kesejahteraan warga-rakyat [Kompas, 10/05/06]. Tetapi dinginnya respon mahasiswa atas gerakan buruh belakangan ini telah menjadi tanda kegagalan konsolidasi demokrasi paska reformasi. Buruh terlihat berjuang sendirian tanpa dukungan berarti elemen gerakan mahasiswa. Fenomena ini menunjukkan lemahnya kaderisasi internal masing-masing pihak.

Artinya, komunikasi politik antara buruh dan mahasiswa yang pernah dilakukan secara intensif sesaat menjelang dan sesudah reformasi 1998 tidak berhasil dikelola dengan sistematis untuk kemudian diteruskan pada aktivis gerakan mahasiswa dan buruh generasi sesudahnya. Fakta ini telah meruntuhkan pernyataan para pengamat atas adanya konsolidasi demokrasi secara intensif di tingkat akar rumput. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa dan buruh paska reformasi tidak saling bersinergi dan belum sampai pada tahap simbiosis mutualism. Maka konsolidasi demokrasi paska 1998 hingga kini hanyalah sekadar ilusi reformasi.

Rekonsiliasi dan masyarakat
Kedua, ilusi rekonsiliasi. Enam agenda reformasi 1998 yang menjadi tuntutan massa rakyat waktu itu adalah penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi TNI/Polri serta pemberian otonomi daerah seluas- luasnya. De facto dan de jure sebagian agenda tersebut telah dilaksanakan pemerintah meski lambat dan sering terkesan hanya untuk kepentingan membangun citra positif presiden terpilih bersama para menteri pembantunya.

Aktifitas public relations yang dikerjakan pemerintah transisi lebih bersifat reaktif guna merespon dinamika tuntutan arus bawah yang masih kuat. Pemerintah dibuat gamang dan tidak memiliki keberanian untuk membuat suatu kebijakan yang mendasar dan gradual. Padahal, substansi pelaksanaan agenda reformasi total pada akhirnya akan bermuara pada soal kemampuan Republik ini menyelesaikan problematika serta ingatan sosial politik yang kelam dan gulita di masa lalu secara damai - agar dapat melangkah dengan tenang hati menyongsong masa depan - alias rekonsiliasi.

Dibentuknya berbagai komisi independen seperti KPK yang menangani korupsi dan KKR yang bekerja demi rekonsiliasi nasional lagi-lagi tidak mampu menunjukkan kinerja progresifnya sehingga benang kusut persoalan di Republik ini semakin semrawut. Kaburnya Gunawan Santoso, kasus suap di lingkaran elit kejaksaan, amuk massa Tuban, ketidakjelasan aktor intelektual tragedi Trisakti dan Semanggi hanyalah daftar awal indikator kegagalan kerja-kerja KPK dan KKR maupun beragam komisi lainnya yang telah dibentuk pemerintah sebagai tindak lanjut pelaksanaan agenda reformasi.

Progres tanpa arti atas kinerja KKR yang mendapat ilham dari success story model Afrika Selatan pun ternyata tidak dibarengi dengan penegakan hukum berdasarkan prinsip, asas dan hakekat keadilan. Sehingga orang-orang seperti Eurico Gutteres, Tibo cs. dan Pollycarpus hanyalah pemeran kambing hitam yang harus dijadikan tumbal. Tidak tertutup kemungkinan bertambahnya kambing hitam lain yang akan ditangkap dan dieksekusi.

Contoh paling mutakhir menyangkut rasa keadilan ini adalah proses hukum Soeharto. Sejas semula memang telah disadari bahwa peran dan pengaruh sejumlah politisi anak asuh penguasa Orde Baru ini akan berhasil mempengaruhi elit politik Jakarta. Peradilan Soeharto pun telah dihentikan [Kompas, 11/05/06]. Maka upaya para loyalis Soeharto agar rakyat bisa dan mau mengampuni dosa mantan presiden mereka dengan memanfaatkan momentum usia senja Soeharto yang kabarnya semakin lemah oleh rongrongan penyakit jelas telah mengabaikan rasa tanggung jawab dan menusuk martabat kemanusiaan rakyat. Kenyataan akan kebusukan birokrasi, rapuhnya relasi sosial, menjamurnya korupsi dan mafia peradilan, keterbelakangan dunia pendidikan, kemandulan budaya bangsa, kemiskinan struktural, kekerasan sistemik serta rusaknya perekonomian bangsa dan tata nilai hidup bernegara tidak dapat dilepaskan begitu saja sebagai akibat kebijakan nasional di bawah kuasa Soeharto selama tiga dasawarsa lebih.

Dalam konteks demikian jelas harus ada pihak yang bertanggungjawab dan mendapatkan punishment sebagaimana prosedur hukum wajib ditegakkan serta dijunjung tinggi. Bukan karena nafsu balas dendam politik melainkan semata oleh sebab semangat menghormati prinsip-nilai keadilan. Sebab rekonsiliasi tanpa keadilan adalah mimpi. Dan keputusan menutup kasus hukum Soeharto tanpa proses pengadilan lebih lanjut telah menghempaskan upaya rekonsiliasi menjadi sekadar ilusi.

Ketiga, masyarakat madani atau civil society adalah ilusi reformasi. Bagi negara kepulauan Republik Indonesia dengan lebih dari dua ratus juta penduduk yang begitu plural dan khas dalam keidentitasan dan watak masing-masing etnis yang bersekutu di dalamnya, pemahaman bersama [mutual understanding] sebagai sebuah negara bangsa bernama Indonesia belumlah terwujud. Sebagaimana sering diakui oleh kaum cerdik pandai kita, Indonesia masih dalam proses mencari jati diri untuk kemudian menjadi. Sebagai bagian dari intelektual revolusioner, Soekarno pun sejak awal telah menyadarinya. Maka tak heran bila Bapak Bangsa ini segera mencanangkan gerakan pembangunan watak bangsa [nation and carhacter building] usai proklamasi.

Sehingga tidak mengherankan bila kerawanan sosial yang membuncah menjadi tawuran antar kampung, amuk massa di berbagai kota, pembantaian rasial, kisruh politik dalam pilkada, teror bom dengan mengibarkan bendera agama, intimidasi kepada peserta demonstrasi yang berseberangan pendapat, hingga kekerasan akibat kemiskinan akut yang semakin meningkat paska reformasi adalah tanda bahwa terwujudnya suatu civil society yang menjunjung tinggi demokrasi masih sebatas perdebatan intelek di dalam kampus atau aula hotel.

Terlebih bila kekuatan masyarakat sipil - yang umumnya diwakili oleh kelompok swadaya masyarakat dan didukung oleh media massa serta gerakan mahasiswa dan buruh - ternyata masih tidak mampu menyelesaikan pekerjaan rumah agenda reformasi total yang diamanatkan rakyat sejak sewindu lalu, maka apa yang diharapkan dari terwujudnya sebuah civil society tidak lebih dari urusan pencitraan agar sepertinya memang ada meski sesungguhnya hanyalah ilusi belaka.

Demikian para aktivis pergerakan, intelektual kampus, masyarakat media, kaum pengamat dan peneliti hingga rakyat yang sudah memiliki kematangan politik pun masih saja bersemangat menggelorakan pesan demokrasi, rekonsiliasi dan mimpi akan terwujudnya masyarakat madani. Padahal, sesungguhnya segala bentuk tindakan dan usaha untuk melupakan Soeharto tidak lain adalah lambaian tangan selamat tinggal kepada reformasi. Sebuah misi heroik yang tak mungkin tercapai, sebuah ilusi dalam a mision impossible! [*]

1 comment:

Anonymous said...

Thx ya infonya