Sunday, July 30, 2006

Bencana, CSR dan Soros








oleh: Michael YUDHA Winarno


SEMBURAN gas dan lumpur panas di sekitar kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas, Sidoarjo, Jawa Timur jelas bukan bencana alam [natural disaster]. Bencana ini timbul akibat ulah manusia [human-made disaster] dari aktivitas pengeboran yang dampaknya tidak kalah mengerikan dibandingkan bencana alam. Selain menyebabkan bencana lingkungan hidup, gangguan kesehatan dan kerugian ekonomi satu milyar per hari [Kompas, 13/06/06] bencana ini juga menegaskan bahwa manajemen penanganan bencana masih mandul. Baik perusahaan, pemerintah maupun masyarakat ternyata sama sekali tidak dapat belajar atas kasus-kasus maha bencana alam yang dalam dua tahun terakhir ini menghajar Republik tercinta.

Pelajaran utama yang dapat dipetik dari bencana gas dan lumpur panas ini adalah soal tanggung jawab sosial perusahaan alias CSR [Corporate Social Responsibility]. Lima belas hari berlalu tanpa upaya komprehensif penanggulangan bencana jelas mengindikasikan tidak adanya skenario kesiapsiagaan bencana [disaster preparadness] sejak fase awal kemunculan lumpur panas. Sebuah keanehan mengingat bisnis pertambangan sudah pasti menuntut tanggung jawab maha besar terkait dengan lingkungan hidup dan keberadaan masyarakat atau komunitas di sekitar lokasi bisnis. Sehingga tidak bekerjanya regulasi, perangkat dan metode siap siaga bencana dalam kasus ini sebenarnya tidak bisa diterima oleh akal sehat. Lalu mengapa soal CSR ini bisa menjadi mandul?

Jas Merah CSR

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” demikian pesan Bung Karno. Maka ada baiknya kita telusuri sejarah perkembangan CSR di periode awal kelahirannya. Pada mulanya adalah abad ke-16. Situasi dimana kekuasaan gereja mulai kehilangan dominasinya atas kehidupan sosial kemasyarakatan dan diambil alih oleh peran negara. Otomatis berpindah pula tanggung jawab sosial tersebut ke tangan negara. Tetapi hukum alam menggariskan bahwa yang kekal di dunia fana ini adalah perubahan. Maka sejak abad ke-21 institusi bisnis atau korporasi menjadi kandidat pemegang kendali atas tanggung jawab sosial selanjutnya.

Setelah Perang Dunia II, Amerika menjadi satu-satunya kekuatan ekonomi yang dominan. Pemerintah US mengajak partisipasi korporasi Amerika untuk berperan dalam program pemulihan ekonomi Eropa dengan melakukan investasi luar negeri secara langsung. Dari sinilah korporasi transnasional Amerika muncul dan menjadi simbol kekuatan ekonomi Amerika. Jelas internasionalisasi modal Amerika memberi keuntungan kembali bagi Amerika.

Dan embrio CSR lahir ketika di tahun 1960-1976 negara-negara berkembang bersama western union dan aktivis sosial menyerukan perlunya suatu “New International Economic Order” yang akan mengatur lebih ketat aktivitas korporasi transnasional. Apalagi ketika Presiden Chili, Salvador Allende, delapan bulan sebelum kematiannya mengingatkan sidang umum PBB bahwa pemerintahannya yang telah terpilih secara demokratis akan digulingkan oleh korporasi trans-nasional Amerika, ITT [International Telegraph and Telephone Company] dengan dukungan CIA. Allende mengaku memiliki dan siap membeberkan dokumen berisi 18 rencana aksi ITT dan CIA. Kesaksian tersebut menggemparkan dunia usaha Amerika. Ketidakpercayaan publik atas korporasi meluas ke setiap ujung bumi. Dan ditambah dengan skandal korporasi tingkat tinggi dalam tubuh Enron & World Com serta gerakan demonstarasi masal anti globalisasi sejak 1998 sampai sekarang, CSR semakin menemukan landasan moralnya. Tuntutan publik akan regulasi yang ketat bagi korporasi juga semakin besar.

Menurut Joel Makower dalam Business for Social Responsibility [1994], CSR atau bisnis yang mengutamakan tanggung jawab sosial disajikan sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis dan kepentingan masyarakat tanpa melibakan intervensi pemerintah lebih jauh ke dalam ruang pasar global. Artinya, CSR diharapkan mampu mencapai sukses komersil dimana penghormatan atas nilai-nilai etik dan penghargaan akan martabat manusia, komunitas dan lingkungan hidup dijunjung tinggi. Berangkat dari premis dasar korporasi bahwa semua perusahaan pasti memproduksi dampak sosial dan gangguan lingkungan hidup, maka orientasi mencari keuntungan melulu yang diukur dengan nilai uang tanpa memperhatikan keseimbangan kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup dalam perspektif CSR adalah kegagalan korporasi itu sendiri.

“Hukum CSR” inilah yang rupanya dipegang teguh oleh raksasa korporasi Wal-Mart. Maka tak heran meski telah menjadi raja bisnis dunia, Wal-Mart masih saja berinovasi dengan membuat sebuah rencana strategis yang visioner. Dalam sebuah ceramah bisnis paling penting pada 24 Oktober 2005 lalu, Lee Scott, CEO Wal-Mart menegaskan bahwa perusahaannya berkomitmen pada dunia “to making zero waste”. Artinya, Wal-Mart akan menggunakan 100% energi yang dapat diperbaharui dan menjual produk-produk berkelanjutan. Kecerdasan Lee rupanya berpijak pada keyakinan dan prinsipnya dalam berusaha, ”No CEO wants to hurt society or leave a legacy of environmental destruction,” katanya.

Sayangnya, hampir sebagain besar korporasi di Indonesia belum menjalankan prinsip-prinsip CSR yang sesungguhnya. Yang terjadi sesunguhnya baru sebatas pada fenomena “CSR Peduli”. Yaitu aktivitas reaktif dan latah dengan membuka posko peduli atau berduyun-duyun membagikan paket bantuan sembako dan memberi layanan kesehatan di wilayah bencana. Tentu saja dengan kampanye iklan di media massa dengan harapan mendapatkan citra positif perusahaan. Kegiatan Public Relations seperti ini memang tidak menyalahi prinsip solidaritas kemanusiaan tetapi menjadi aktivitas artivisial belaka dalam konteks CSR. Fenomena CSR Peduli ini ibarat orang kaya yang kikir dengan hanya melempar sekeping uang seratus perak pada pengemis yang meratap di gerbang mewah rumahnya. Masih lebih heroik aksi Robinhood yang menjarah harta istana dan membagikannya kepada orang miskin korban ketidakadilan dan pemerasan pajak.

Filsafat Soros

Kasus lumpur panas di wilayah kerja PT Lapindo Brantas membuka borok korporasi Indonesia. Selain dungu dan malas belajar dari sejarah, korporasi Indonesia rupanya juga mengalami rabun jauh dalam hal merumuskan perencanaan strategis. Barangkali karena watak kolonial warisan VOC-Belanda terlanjur menyusup ke darah daging, maka korupsi di tubuh korporasi - terutama korporasi milik negara - justru menjadi satu-satunya jamu kenikmatan yang terus diteguk sepanjang waktu. Jadilah perjamuan korupsi itu menyingkirkan jauh-jauh masalah tanggung jawab perusahaan pada lingkungan dan masyarakat, masa bodohlah dengan CSR.

Lain halnya dengan George Soros, mega milyuner dan filantropis keturunan Yahudi ini justru memakai uang untuk mempraktekkan keyakinan filosofisnya. Memang kontradiktif jika dirinya mengecam kapitalisme sedangkan hartanya berhasil dikumpulkan karena sistem kapitalis yang menguntungkannya. Tetapi niatnya untuk menjadi kaya setelah selesai berguru pada Karl Popper dan kehendak untuk mewujudkan impian filosofisnya, terbentuknya masyarakat dunia yang terbuka, ternyata menegaskan bahwa filsafat membutuhkan dana yang sangat besar. Orang boleh suka atau membencinya, tetapi untuk cita-cita mulia ini Soros patut mendapat acungan jempol.

Komitmen Soros mengucurkan separuh dari kekayaannya sebagai bentuk tanggung jawab sosial korporasinya demi perubahan masyarakat, komunitas dan lingkungan yang lebih baik dengan menawarkan gagasan “Masyarakat Terbuka” merupakan suatu bentuk CSR yang tidak hanya mutakhir tetapi sekaligus visioner-populis. Hakekat filsafat itulah yang mendorong Soros melalui jaringan filantropi internasional Open Society Institute di 50 negara mengeluarkan lebih dari 400 juta dollar per tahunnya. Belum termasuk hibah pada kampus yang didirikannya, Central European University di Budapest.

Soros sendiri meyakini bahwa jika kita peduli akan prinsip-prinsip universal seperti kebebasan, demokrasi dan supremasi hukum, maka kita tidak mungkin menyerahkan soal ini ke tangan kekuatan-kekuatan pasar. Kita harus membuat beberapa lembaga lain untuk menjaga kelestariannya. Inilah salah satu dasar CSR yang menjadi komitmen moral, buah dari refleksi kritis filsafatnya yang dulu dipelajari di London School of Economics.

“Barangkali ancaman terbesar terhadap kebebasan dan demokrasi di dunia sekarang berasal dari kolusi haram antara penguasa dan pengusaha,” katanya dalam “Open Society, Reforming Global Capitalism” yang buku terjemahan Indonesia-nya telah diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Sisi positif dari Soros inilah yang harus menjadi pelajaran bagi kita semua. Sehingga saling tuding dan lempar tanggung jawab antara menteri, departemen, pengusaha dan pemerintah lokal tempat di mana bencana lumpur panas Sidoarjo menyerang tidak perlu terjadi. Tetapi barangkali karena mereka adalah para penggemar cerita wayang dengan adegan klasik lempar batu sembunyi tangan sementara udang telah menunggu di balik batu, maka bencana kali ini pun tidak mendapatkan atensi yang sungguh-sungguh serius.

Mudah-mudahan, minimal karena keyakinan bahwa masih ada segelintir orang baik di negeri ini, harapan akan kesediaan korporasi Indonesia untuk segera mengembangkan metode dan perangkat CSR yang mumpuni segera terwujud. Semoga saja mereka tidak melulu sibuk mengejar target mendapatkan “CSR Award” dan mengabaikan dasar filosofis CSR yang visioner. Sebab suatu rencana strategis di belakang program-program CSR bisa jadi akan memberi kontribusi bagi pengurangan kemiskinan dan ketidakadilan sosial di Republik ini. Dua masalah utama yang harus segera dihapus bersama agar martabat orang Indonesia tegak berdiri. [*]

1 comment:

Philipus Parera said...

Sukses ya Yud.