oleh: Michael YUDHA Winarno
Pelajaran utama yang dapat dipetik dari bencana gas dan lumpur panas ini adalah soal tanggung jawab sosial perusahaan alias CSR [Corporate Social Responsibility].
Jas Merah CSR
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” demikian pesan Bung Karno. Maka ada baiknya kita telusuri sejarah perkembangan CSR di periode awal kelahirannya. Pada mulanya adalah abad ke-16. Situasi dimana kekuasaan gereja mulai kehilangan dominasinya atas kehidupan sosial kemasyarakatan dan diambil alih oleh peran negara. Otomatis berpindah pula tanggung jawab sosial tersebut ke tangan negara. Tetapi hukum alam menggariskan bahwa yang kekal di dunia fana ini adalah perubahan. Maka sejak abad ke-21 institusi bisnis atau korporasi menjadi kandidat pemegang kendali atas tanggung jawab sosial selanjutnya.
Setelah Perang Dunia II, Amerika menjadi satu-satunya kekuatan ekonomi yang dominan. Pemerintah US mengajak partisipasi korporasi Amerika untuk berperan dalam program pemulihan ekonomi Eropa dengan melakukan investasi luar negeri secara langsung. Dari sinilah korporasi transnasional Amerika muncul dan menjadi simbol kekuatan ekonomi Amerika. Jelas internasionalisasi modal Amerika memberi keuntungan kembali bagi Amerika.
Dan embrio CSR lahir ketika di tahun 1960-1976 negara-negara berkembang bersama western union dan aktivis sosial menyerukan perlunya suatu “New International Economic Order” yang akan mengatur lebih ketat aktivitas korporasi transnasional. Apalagi ketika Presiden Chili, Salvador Allende, delapan bulan sebelum kematiannya mengingatkan sidang umum PBB bahwa pemerintahannya yang telah terpilih secara demokratis akan digulingkan oleh korporasi trans-nasional Amerika, ITT [International Telegraph and Telephone Company] dengan dukungan CIA. Allende mengaku memiliki dan siap membeberkan dokumen berisi 18 rencana aksi ITT dan CIA. Kesaksian tersebut menggemparkan dunia usaha Amerika. Ketidakpercayaan publik atas korporasi meluas ke setiap ujung bumi. Dan ditambah dengan skandal korporasi tingkat tinggi dalam tubuh Enron & World Com serta gerakan demonstarasi masal anti globalisasi sejak 1998 sampai sekarang, CSR semakin menemukan landasan moralnya. Tuntutan publik akan regulasi yang ketat bagi korporasi juga semakin besar.
Menurut Joel Makower dalam Business for Social Responsibility [1994], CSR atau bisnis yang mengutamakan tanggung jawab sosial disajikan sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis dan kepentingan masyarakat tanpa melibakan intervensi pemerintah lebih jauh ke dalam ruang pasar global. Artinya, CSR diharapkan mampu mencapai sukses komersil dimana penghormatan atas nilai-nilai etik dan penghargaan akan martabat manusia, komunitas dan lingkungan hidup dijunjung tinggi. Berangkat dari premis dasar korporasi bahwa semua perusahaan pasti memproduksi dampak sosial dan gangguan lingkungan hidup, maka orientasi mencari keuntungan melulu yang diukur dengan nilai uang tanpa memperhatikan keseimbangan kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup dalam perspektif CSR adalah kegagalan korporasi itu sendiri.
“Hukum CSR” inilah yang rupanya dipegang teguh oleh raksasa korporasi Wal-Mart. Maka tak heran meski telah menjadi raja bisnis dunia, Wal-Mart masih saja berinovasi dengan membuat sebuah rencana strategis yang visioner. Dalam sebuah ceramah bisnis paling penting pada 24 Oktober 2005 lalu, Lee Scott, CEO Wal-Mart menegaskan bahwa perusahaannya berkomitmen pada dunia “to making zero waste”. Artinya, Wal-Mart akan menggunakan 100% energi yang dapat diperbaharui dan menjual produk-produk berkelanjutan. Kecerdasan Lee rupanya berpijak pada keyakinan dan prinsipnya dalam berusaha, ”No CEO wants to hurt society or leave a legacy of environmental destruction,” katanya.
Sayangnya, hampir sebagain besar korporasi di Indonesia belum menjalankan prinsip-prinsip CSR yang sesungguhnya. Yang terjadi sesunguhnya baru sebatas pada fenomena “CSR Peduli”. Yaitu aktivitas reaktif dan latah dengan membuka posko peduli atau berduyun-duyun membagikan paket bantuan sembako dan memberi layanan kesehatan di wilayah bencana. Tentu saja dengan kampanye iklan di media massa dengan harapan mendapatkan citra positif perusahaan. Kegiatan Public Relations seperti ini memang tidak menyalahi prinsip solidaritas kemanusiaan tetapi menjadi aktivitas artivisial belaka dalam konteks CSR. Fenomena CSR Peduli ini ibarat orang kaya yang kikir dengan hanya melempar sekeping uang seratus perak pada pengemis yang meratap di gerbang mewah rumahnya. Masih lebih heroik aksi Robinhood yang menjarah harta istana dan membagikannya kepada orang miskin korban ketidakadilan dan pemerasan pajak.
Filsafat Soros
Kasus lumpur panas di wilayah kerja PT Lapindo Brantas membuka borok korporasi
Lain halnya dengan George Soros, mega milyuner dan filantropis keturunan Yahudi ini justru memakai uang untuk mempraktekkan keyakinan filosofisnya. Memang kontradiktif jika dirinya mengecam kapitalisme sedangkan hartanya berhasil dikumpulkan karena sistem kapitalis yang menguntungkannya. Tetapi niatnya untuk menjadi kaya setelah selesai berguru pada Karl Popper dan kehendak untuk mewujudkan impian filosofisnya, terbentuknya masyarakat dunia yang terbuka, ternyata menegaskan bahwa filsafat membutuhkan dana yang sangat besar. Orang boleh suka atau membencinya, tetapi untuk cita-cita mulia ini Soros patut mendapat acungan jempol.
Komitmen Soros mengucurkan separuh dari kekayaannya sebagai bentuk tanggung jawab sosial korporasinya demi perubahan masyarakat, komunitas dan lingkungan yang lebih baik dengan menawarkan gagasan “Masyarakat Terbuka” merupakan suatu bentuk CSR yang tidak hanya mutakhir tetapi sekaligus visioner-populis. Hakekat filsafat itulah yang mendorong Soros melalui jaringan filantropi internasional Open Society Institute di 50 negara mengeluarkan lebih dari 400 juta dollar per tahunnya. Belum termasuk hibah pada kampus yang didirikannya,
Soros sendiri meyakini bahwa jika kita peduli akan prinsip-prinsip universal seperti kebebasan, demokrasi dan supremasi hukum, maka kita tidak mungkin menyerahkan soal ini ke tangan kekuatan-kekuatan pasar. Kita harus membuat beberapa lembaga lain untuk menjaga kelestariannya. Inilah salah satu dasar CSR yang menjadi komitmen moral, buah dari refleksi kritis filsafatnya yang dulu dipelajari di London School of Economics.
“Barangkali ancaman terbesar terhadap kebebasan dan demokrasi di dunia sekarang berasal dari kolusi haram antara penguasa dan pengusaha,” katanya dalam “Open Society, Reforming Global Capitalism” yang buku terjemahan Indonesia-nya telah diterbitkan oleh Yayasan Obor
1 comment:
Sukses ya Yud.
Post a Comment