Thursday, July 27, 2006

Sosialisme Akar Rumput dari Kualakerto



* Michael YUDHA Winarno *


IBARAT kutub sebuah magnet yang saling tolak-menolak, demikian gambaran relasi sosial antara manusia yang sehat dengan mereka yang menderita penyakit kusta. Lebih ekstrim lagi, konon penyakit kusta yang susah disembuhkan itu adalah buah kutukan Tuhan atas manusia pendosa. Sebab itu Si Kusta wajib hukumnya untuk dijauhi, di-persona nongrata-kan oleh dan dari masyarakat.

Maka munculah kampung-kampung khusus orang kusta atau sebagaimana dikisahkan dalam BEN-HUR, film kolosal berdurasi 212 menit peraih 11 Piala Oscar [Academy Award] di tahun 1959, para penderita kusta itu harus tinggal dalam gua-gua di sebuah lembah jauh dari pemukiman bangsa Romawi. Demikian imajinasi akan kusta terus menjadi hantu bagi masyarakat modern. Ia menjadi penyakit yang ditakuti di muka bumi. Kaum kusta, oleh karena penyakit dan kemiskinan yang mengiringi kehidupan mereka lalu diposisikan sebagai warga kelas paling bawah. Mereka tidak mendapatkan tempat dalam hati kita, masyarakat.


Kisah Kualakerto

Tetapi jauh dari masa lampau, di Kualakerto Barat, sebuah gampong yang luluh lantak dihempas tsunami 2004 lalu, hantu kusta itu berhasil diusir. Barangkali inilah salah satu berkah dari bencana. Di halaman sebuah meunasah, pagi itu suka cita dan keramahan warga gampong membaur satu sama lain tanpa sekat pembatas tanpa jarak di antara mereka. Malah sejumlah warga penderita kusta bebas berinteraksi dengan warga lainnya. Wajah-wajah kaum kusta itu justru terlihat yang paling happy. Betapa tidak, sebab 52 unit rumah baru akan segera dibangun untuk para keluarga penderita kusta. Adalah CORDIA bekerja sama dengan Caritas Jerman yang hadir sebagai saudara menjawab keprihatinan memfasilitasi kebutuhan mereka.


Menandai peletakan batu pertama bagi proyek pembangunan 52 unit rumah tipe 42 tersebut, seekor lembu dipersembahkan sebagai kurban diiringi ritual doa, pemberian sesaji dan percikan air pada batu-tanah galian fondasi rumah. Ureng Aceh menyebutnya sebagai ritual adat Peusijuk Rumoh. Dan Muhammad Yusuf [35] beserta istri tak dapat menyembunyikan senyumnya manakala komite desa memutuskan bahwa rumah merekalah yang akan dibangun pertama kali. Keduanya adalah pasangan kusta yang telah menikah selama lima tahun dan dikaruniai seorang anak. Sayangnya, tsunami telah merenggut satu-satunya buah hati mereka.


”Senang Pak, saya senang sekali, terima kasih, kami senang Pak,” demikian ungkapan tulus seorang Yusuf yang ditemani istri tercintanya, Adenia, menanggapi dimulainya proyek pembangunan rumah di Kualakerto Barat, gampong kusta di Kecamatan Samudra, Aceh Utara. “Dulu [sebelum tsunami] kami kerja membuat tikar pandan, ukuran 1,5 x 6 meter kami jual tigapuluh ribu, sekitar seminggu bisa kami selesaikan. Tapi sekarang tidak ada lagi, pohon sudah habis kena tsunami, bahan tidak ada, modal tidak ada. Untuk makan sehari-hari kami masih dapat bantuan sembako. Tapi kami mau kerja lagi, Pak, tapi kami tidak punya modal dan tak tau harus kerja apa,” cerita Yusuf menyatakan keprihatinannya.


Kaum kusta di Kualakerto ini memang memiliki semangat hidup yang tinggi. Rasa percaya diri mereka semakin tumbuh ketika warga setempat bisa menerima kehadiran mereka. Sebagian warga di gampong terdekat bahkan menjadi pelanggan setia manakala mereka butuh ikan. “Orang-orang biasa beli ikan sama saya, dari gampong sebelah juga. Saya beli ikan langsung dari laut [nelayan yang pulang melaut] jadi ikannya masih segar,” ungkap Mardjuki, pedagang ikan penderita kusta. “Saya senang punya pekerjaan tapi hasilnya masih pas-pasan. Apa Bapak mau bantu modal?” tanyanya kepada CORDIA.


Di Kualakerto Barat, tsunami jelas membawa perubahan positif dalam masyarakat. Ibu-ibu dan anak perempan kini bebas menyatakan pendapatnya dalam rapat-rapat gampong, hal yang mustahil ditemui dalam kultur muslim yang paternalistik, dimana perempuan harus tunduk pada kaum Adam. Dalam rapat-rapat bersama komite desa, kaum kusta memiliki hak yang sama untuk menentukan rancangan rumah. Mereka duduk bersama, berdiskusi, berdebat, menyelesaiakan masalah dan berbagi gagasan tentang bagaimana sebaiknya gampong mereka dibangun kembali dengan lebih baik.


“Saya ikut hadir kalau ada rapat komite, senang rasanya bisa bicara bersama warga lainnya. Kami juga menggambar peta gampong bersama-sama tapi saya biasanya diam saja jika ada orang yang berdebat. Biasanya yang laki-laki itu kalau bicara lama dan susah distop,” komentar Adenia, penderita kusta yang pernah bekerja sebagai penganyam tikar pandan. Solidaritas, persamaan hak dan kesetaraan nilai sebagai manusia dihormati bersama sehingga para penderita kusta yang dulu ditolak keberadaannya dalam masyarakat, kini dapat hidup berdampingan sebagai sesama warga gampong. Inilah sebagian dari buah kerja-kerja rekonstruksi paska tsunami dengan pendekatan community action plan atau CAP.


Komunitas Kusta

Di Indonesia sendiri jumlah penderita kusta mencapai 14.540 orang atau hampir di bawah 1 per 10 ribu penduduk. Menurut laporan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari awal Desember 2005 lalu, masih ada 12 provinsi yang menjadi tempat penularan [terjangkitnya] penyakit lepra atau kusta, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, dan Papua. Pada tingkat dunia, Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara terbanyak penduduknya yang mengidap penyakit kusta setelah India dan Brazil.


Ketakutan masyarakat terhadap penyakit kusta memang beralasan sebab terbatasnya informasi yang tepat tentang jenis penyakit ini. Padahal, penyakit yang disebabkan oleh kuman Microbacterium Leprae ini dapat disembuhkan apabila penderita mendapat pengobatan sejak awal. Umumnya, gejala awal penyakit ini ada dua macam. Untuk jenis kusta kering atau tipe Paucibacillary [PB] biasanya ditandai dengan munculnya bercak putih seperti panu. Bercak putih ini tidak menimbulkan rasa gatal dan tidak terasa ketika disentuh [mati rasa].


Sedangkan tipe kedua biasa disebut kusta basah atau Multibacillary [MB] ditandai dengan adanya penebalan kulit atau benjolan kecil yang berwarna kemerahan yang lama-kelamaan akan mati rasa juga. Kusta jenis kedua inilah yang dapat menular bila tidak segera diobati. Sekarang bila seseorang terinfeksi penyakit ini bisa mendapatkan pengobatan gratis di rumah sakit terdekat dan untuk masa inkubasinya bisa mencapai dua hingga lima tahun, bahkan bisa mencapai 40 tahun.


Lain Indonesia lain pula Kualakerto. Meskipun perkampungan atau “panti kusta” bertebaran di sejumlah propinsi sebagaimana tersebut di atas, Kualakerto memiliki cara dan strateginya sendiri dalam memberdayakan dan mengembalikan martabat orang kusta. “Tempat-tempat seperti panti cenderung justru menjauhkan penderita kusta dari masyarakat. Di Lao Simomo dekat Kabanjahe saya melihat petunjuk jalan ke arah perkampungan orang kusta. Bagi saya tanda itu bermakna sebaliknya, jauhi tempat ini, kan begitu,” ujar Heinrich Terhost, perwakilan Caritas Germany di Banda Aceh dalam sebuah pembicaraan dengan CORDIA. Menurutnya, sebisa mungkin penderita kusta dikembalikan ke tengah masyarakat paska rehabilitasi. Artinya jika penyakit itu sudah sembuh dan penderita memiliki kemampuan untuk bekerja.


Kini rekonstruksi partisipatif di gampong kusta Kualakerto Barat sedang berjalan dan dibangun dengan konsep terbuka. Ia tidak dibuat terpencil dan tersembunyi jauh dari pemukiman masyarakat. Ia adalah gampong sebagaimana umumnya desa-desa di Indonesia. Ia memiliki pasar, tempat ibadah, puskesmas, gedung serbaguna, taman bermain bagi anak, lahan pertambakan, jalan penghubung antar gampong dan fasilitas umum lainya yang semuanya menyatu dan berdekatan dengan rumah-rumah yang sedang dibangun bagi para penderita kusta.


Oleh karena tsunami jugalah keterbukaan warga gampong di pinggir selat Malaka itu semakin terasa. Kekerabatan, sapaan, persaudaraan, solidaritas dan interaksi antarwarga begitu cair dan tidak lagi mengenal perbedaan status sosial, agama, suku atau kondisi fisik yang kurang sebagaimana dirasakan para penderita kusta sebelum amuk gelombang raksasa itu terjadi.


“Jangan lupakan kami ya, Pak,” kata Mardjuki singkat ketika CORDIA berjabat tangan denganya hendak meninggalkan Kualakerto. Sebuah pesan sederhana tulus dan begitu menyentuh hati. Benarkah kita sebagai masyarakat selama ini telah melupakannya?
Apa jawab kita kepada Si Kusta sesama kita?* * * [mYw]

No comments: