Thursday, November 30, 2006

Oposisi, Satu Bantal Dua Mimpi


Oleh: Michael Yudha W

SALAH satu pelajaran politik paling berharga yang dapat kita petik bersama dari tarik ulur kekuatan antara “kubu presiden” dan “kubu wakil presiden” dalam dua tahun terakhir ini adalah soal oposisi. Polemik UKP3R [Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi], kontroversi kenaikan BBM, dan perselisihan dalam menentukan posisi menteri dalam rumah tangga Republik, misalnya, adalah cermin dari keberadaan oposisi setengah hati alias banci. Baik kubu presiden dan wapres menikmati satu bantal kekuasaan yang sama tetapi dengan mimpi yang berbeda.
Sebagai suatu kekuatan anti status quo, oposisi seharusnya mampu dilembagakan secara formal guna menjalankan tiga fungsi politiknya; kritik, pertimbangan dan pengawasan terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa. Pelembagaan oposisi secara strategis, sistematis dan demokratis akan mampu mencegah berulangnya kembali dosa-dosa politik masa lalu seperti korupsi, kolusi dan nepotisme [KKN]. Pendek kata, pelembagaan oposisi menjadi keharusan bila masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial benar-benar mau dibumi-hanguskan dari persada nusantara.
Oposisi Machiavelian
Mengapa kekuatan oposisi dalam politik Indonesia mandul atau terkesan banci? Sejarah mencatat bahwa Soekarno, Soeharto dan Abdurrahman Wahid memang berhasil diturunkan dari kekuasaannya melalui konsolidasi kekuatan oposisi. Tetapi oposisi dalam ketiga kasus tersebut semata bersifat Machiavelian, haus akan darah kekuasaan sehingga segala cara yang melibatkan konspirasi dengan agen asing, politik kambing hitam, maupun fatwa agama dihalalkan sebagai senjata politik. Orientasi kerja kelompok oposisi selama ini hanya berkutat pada masalah menggulingkan dan merebut kekuasaan untuk kemudian dibagikan kepada sekutunya masing-masing. Dalam kasus Soekarno, hampir seluruh kekuataan oposisi saat itu langsung bermetamorfosis menjadi penguasa, rejim Orde Baru kemudian terbentuk dan mengakar kuat. Dalam kasus Soeharto, aksi politik metamorfosis oposisi paska lengser keprabon masih harus bertarung dengan kekuatan status quo pendukung Orba dan terpaksa melakukan kompromi politik akibat tiadanya strategi komprehensif yang kuat atas cara-cara penyelesaian politik paska penggulingan.
Dalam era Soekarno, bisa dikatakan bahwa oposisi tidak diperlukan karena masalah integrasi bangsa dan nasionalisme masih rawan. Maka Soekarno pun berusaha mengkonsolidasikan kekuatan politik nasional dengan jargon nasakom-nya. Gagasan cerdas Soekarno ini sebenarnya sejalan dengan pendapat Gellner [1983], dalam bukunya Nations and Nationalism, bahwa keberhasilan pembentukan negara bangsa memang harus melibatkan unsur kekuasaan, pendidikan dan kebudayaan. Pada konteks inilah ide jenius Soekarno terbukti berhasil memandulkan kekuatan oposisi tetapi sekaligus memanfaatkannya sebagai benteng pertahanan Indonesia dalam menghadapi kekuatan asing.
Disahkannya Pancasila sebagai dasar ideologi Negara Indonesia pada sisi lain ternyata juga berhasil mencegah tumbuhnya embrio oposisi. Sila Persatuan Indonesia yang sangat digandrungi Soekarno menjadi senjata ideologis untuk menumpas lawan-lawan politiknya, baik di dalam maupun di luar negeri. Soekarno menegaskan bahwa musuh bangsa yang utama adalah kolonialisme dan imperialisme. Jargon-jargon Soekarno pada era revolusi tersebut menjadi jamu yang sangat manjur agar rakyat tidak berpikir tentang kelemahan politik presidennya yang sudah memasuki stadium otoritarianisme politik. Demokrasi terpimpin yang diperkenalkannya adalah sebuah penyakit akut yang menggerogoti dan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Dalam teropong nasionalisme, usaha-usaha Soekarno memang berhasil. Tetapi dalam periskop demokrasi, sikap politik Soekarno tersebut lagi-lagi telah memandulkan embrio oposisi.
Soeharto setali tiga uang dengan Soekarno. Ketika melihat embrio oposisi mulai tumbuh subur, segera dibuatnya kebijakan pemangkasan partai-partai politik hanya menjadi dua partai dan satu golongan karya. Dirinya mengatakan bahwa “konsolidasi” politik penting agar mesin pembangunan berjalan lancar. Penerapan dwi-fungsi ABRI tidak lain sebagai fungsi pengawasan terhadap kemungkinan tumbuhnya gerakan oposisi di tingkat pedesaan – akar rumput. Agar tidak dianggap meniru Soekarno dengan nasakom-nya, Soeharto mengintegrasikan kekuatan ABG [militer, birokrasi dan Golkar] untuk memudahkan manajemen kepemimpinannya. Kebijakan massa mengambang dan politik rekayasa pemilu pada akhirnya semakin mengunci kesadaran rakyat untuk memainkan fungsi-fungsi oposisi.
Demikian tragedi politik di Republik ini, oposisi menjadi pekerjaan politik setengah hati yang diterapkan dengan semangat Machiavelian. Ketika kekuasaan didapat, detik itu juga kekuasaan dimanfaatkan untuk melanggengkan status quo sembari mengebiri habis embrio-embrio oposisi yang baru.
Rencana Strategis
Menurut Sukardi Rinakit, saat ini adalah momentum yang tepat bagi Golkar untuk menekan pemerintah dan keluar dari kerangkeng kekuasaan [Kompas, 14 November 2006]. Dengan kata lain, Sukardi menyarankan Golkar untuk secara total memainkan fungsi oposisi. Menurut saya, harapan Sukardi terlalu tinggi. Kalaupun Golkar bertekad menjadi oposisi, ia tidak mungkin seratus persen melepaskan bantal kekuasaannya. Nasi sudah menjadi bubur, Golkar telah berbagi bantal dengan Sang Presiden dan dirinya hanya bisa memiliki mimpi yang berbeda. Apalagi, secara kultur Golkar adalah partai penguasa yang terbiasa berada pada posisi puncak. Bahkan meski dukungan rakyat pada partai beringin ini menurun pada pemilu terakhir, para komprador, sekutu serta kekuatan jaringan partai ini masih berkuasa penuh dan berpengaruh secara signifikan atas hitam putihnya wajah Republik. Pun seandainya Golkar merubah haluan politiknya sebagai oposan, yang terjadi kemudian hari tidak akan lebih dari sekadar oposisi Machiavelian sebagaimana dijelaskan di atas. Mengharapkan angin perubahan politik dari Golkar ibarat punguk merindukan bulan.
Belajar dari kegagalan oposisi dalam sejarah politik kita, sudah saatnya memikirkan suatu rencana strategis untuk mengkonsolidasikan kekuatan oposisi dan pelembagaannya secara komprehensif demi kepentingan jangka panjang. Perspektif yang dipakai adalah untuk kesejahteraan rakyat serta keadilan sosial dan bukan semata demi perebutan dan pembagian kekuasaan. Jika tidak, kelompok oposisi yang kemudian hari berkuasa akan bertindak otoriter seperti di era Soekarno dan Soeharto atau justru berperilaku ibarat bunglon seperti di era Abdurrahman Wahid dan Megawati.
Pelembagaan oposisi secara strategis salah satunya dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan sosial yang mensinergikan kekuatan masyarakat sipil [rakyat]. Sejarah mencatat bahwa tidak ada kekuatan yang mampu menandingi kedigdayaan kekuatan rakyat selain kekuatan alam. Jika rakyat bersatu, suatu pemerintahan atau sebuah korporasi bisnis pun dapat tumbang dalam sekejap. Momentum ini seringkali datang tak terduga, tetapi telak dan menyadarkan penguasa dari mimpi panjang mereka.***

No comments: