Thursday, November 30, 2006

Diagram Venn Indonesia - Amerika


Diagram Venn Indonesia-Amerika
oleh: Michael Yudha

DALAM “dunia hubungan masyarakat” [Public Relations], tujuan dan esensi interaksi adalah terciptanya pemahaman bersama [mutual understanding] atas persoalan yang menjadi pengikat dalam interaksi tersebut. Kesepahaman bersama itulah yang secara jelas digambarkan dalam diagram venn pada logika matematika. Ada sebuah wilayah arsiran yang menjadi tanda bahwa bagian A tidak bisa dilepaskan dari bagian B. Demikian halnya kepentingan B akan memberi manfaat bagi tercapainya kepentingan A. Sementara sejumlah nilai-nilai “ke-Indonesia-an” bisa jadi sama dan ada dalam nilai-nilai “ke-Amerika-an”. Maka dalam konteks inilah sebenarnya titik temu antara Indonesia dan Amerika akan dapat dilihat secara obyektif serta transparan.
Meminjam konsepsi Giddens tentang peta politik global saat ini, maka hubungan bilateral Indonesia-Amerika secara umum dapat dipetakan dalam tiga titik temu. Pertama, hubungan antar negara [G to G; Governemnt to Government], hubungan ekonomi [M to M; Market to Market] dan hubungan personal; [P to P; Person to Person].

Hubungan G to G dikenal sebagai diplomatik-bilateral yang mengharuskan protokoler politik secara ketat. Sehingga simbol-simbol politik negara wajib dihormati. Wilayah “ring satu” ini sudah pasti mendapatkan perhatian yang serius dan menjadi daerah yang rawan dan tabu untuk “diserang”. Hubungan M to M disebut sebagai kerjasama ekonomi-perdagangan yang pada dasarnya dipengaruhi oleh watak survival of the fittest. Artinya, siapa yang lebih cerdik, berkuasa dan memiliki akses terhadap fasilitas pendukung, baik perangkat keras maupun lunak, dialah yang akan memenangkan pertarungan dalam bentuk himpunan modal dan akumulasi kesejahteraan. Sedangkan hubungan P to P umumnya bersifat humaniora-universal. Prinsip dan nilai yang dijadikan indikator keberhasilan hubungan ini adalah sejauh mana penghargaan terhadap martabat manusia dan hak-hak dasarnya dipraktekkan. Seringkali hubungan ini diwakili oleh kerjasama masyarakat sipil dalam bentuk bantuan hibah, teknis, konsultasi, pendampingan, pemberdayaan, loka-karya sampai pemberian beasiswa.

Diplomasi Humaniora
Berdasarkan informasi dari meja Presiden melalui juru bicaranya, Dino Patti Djalal, akan ada enam agenda untuk dibicarakan bersama Bush yang diharapkan bermuara lebih konkrit pada kerjasama bidang ekonomi [Kompas, 17/11]. Artinya, kunjungan Presiden Amerika kali ini masih menganggap bahwa hubungan G to G dan M to M lebih penting daripada hubungan P to P. Tentu saja hal ini wajar, sebab Bush adalah simbol kebijakan politik dan ekonomi Amerika. Dan konteks kedatangan Bush adalah kunjungan resmi kenegaraan. Sehingga pemerintah Indonesia dengan rasa hormat kepada tamunya [sesuai dengan kultur lokal bahwa tamu adalah raja] berusaha semaksimal mungkin membuat pertemuan menjadi aman, nyaman dan lancar. Hal mana membuat persiapan pengamanan dan penyambutan Sang Presiden begitu kompleks.
Di lain pihak, persiapan dimaksud bisa dikatakan telah menimbulkan teror tersendiri bagi rakyat Indonesia. Yaitu dalam bentuk pelarangan berbisnis kepada para PKL di sekitar Kebun Raya Bogor, penutupan ruas-ruas jalan, libur akademik dan pemutusan saluran komunikasi publik. Ironisnya, warga Bogor dan sekitarnya harus menanggung langsung kerugian ekonomi dan sosial akibat kunjungan diplomatik Bush.

Pada titik inilah, diplomasi humaniora seharusnya dijalankan oleh kedua belah pihak, baik pemerintahan Bush maupun SBY. Mereka seharusnya sadar bahwa kerugian sosial-ekonomi yang ditanggung oleh rakyat telah memberikan keuntungan politik bagi peningkatan hubungan bilateral Indonesia-AS. Tetapi kontribusi rakyat [warga Bogor dan sekitarnya] tersebut sudah sepatutnya mendapatkan “ganti untung”, misalnya dalam bentuk kucuran kredit lunak bagi para PKL, beasiswa kepada para murid atau transfer tekhnologi informasi.

Penting untuk diingat bahwa aktivitas politik kenegaraan sudah terlalu sering merugikan aktifitas publik – kerakyatan. Atas nama kepentingan nasional [negara], rakyat dipaksa untuk taat, mengalah dan dengan sendirinya menanggung kerugian. Tetapi tidak ada jaminan bahwa aktifitas kenegaraan tersebut, baik secara langsung maupun tidak, akan menguntungkan rakyat. “Ganti untung” dimaksud penting untuk diberikan sebagai simbol tercapainya mutual understanding antara negara dan rakyatnya. Dalam konteks demokrasi, inilah proses akomodasi politik yang harus dilakukan oleh pemerintah. Sebuah diplomasi humaniora untuk kembali mendapatkan kepercayaan rakyat.

Fenomena Bush
Di Amerika sendiri, Bush dicap sebagai seorang penjudi kakap yang kelewat berani mengambil resiko [Wallerstein, 2006]. Penjudi dengan watak seperti ini jelas potensial mengalami kekalahan yang besar juga. Presiden Bush telah menuai kekalahan tersebut dalam kasus Irak dan kemenangan Partai Demokrat. Proyek Bush untuk Irak dianggap gagal karena tidak mampu menciptakan stabilitas politik, pemerintahan yang ramah dan pembangunan bagi basis militer Amerika di Irak. Sedangkan kemenangan Partai Demokrat jelas menunjukkan antipati dan sikap politik rakyat Amerika terhadap kebijakan Bush. Dua hal ini menjadi stimulus politik yang sangat kuat bagi rakyat Indonesia dalam melancarkan aksi-aksi demonstrasi menentang kedatangan Bush.

Ketika kebijakan politik Bush telah dirasakan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi dan bahkan sudah dianggap menindas dan menghisap pihak lain, serangan protes serta kecaman tak lagi dapat dielakkan. Maka kecaman dan protes yang ditujukan kepada Bush harus dimaknai dalam konteks ketidaksetujuan atas kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Amerika. Seperti halnya serangan terhadap menara kembar WTC dan markas Pentagon oleh Osama bin Laden dan sekutunya, adalah bentuk nyata kebencian sebagian warga dunia atas kebijakan politik luar negeri Amerika.

Kebencian yang memuncak tersebut adalah kebencian kepada sikap politik pemerintahan Bush, bukan kebencian kepada warga negara Amerika per individu. Bahwa ada rakyat Amerika yang tidak bersalah dan menjadi korban, menurut “bahasa teroris”, hal ini dianggap sebagai tanggung jawab pemerintahan Amerika itu sendiri. Demikian aksi demonstrasi menolak kunjungan [baca: menolak kebijakan pemerintah AS] dipastikan tidak akan berhenti paska kunjungan Bush ke Bogor. Di masa depan, banyak kemungkinan munculnya aksi-aksi lain yang lebih besar jika pemerintah AS tidak melakukan perubahan kebijakan politiknya. Terutama terkait dengan ketidakadilan ekonomi global dan “intervensi demokrasi” pada negara-negara di wilayah Timur tengah, Amerika Latin dan Asia.

Terlepas dari pro-kontra hubungan Indonesia-AS dan pertemuan kedua presiden di Bogor, ruang kesepahaman bersama antara kedua-belah pihak sudah saatnya diperluas. Diagram Venn Indonesia-Amerika tidak melulu sepenuhnya bisa diperluas dengan hubungan G to G maupun M to M. Mengingat sensitivitas dan kompleksitas yang ada, tampaknya peningkatan hubungan P to P akan lebih memberikan hasil positif daripada dua bentuk hubungan lainnya. Hal ini berlaku untuk masa depan kedua negara ini, entah siapapun presidennya nanti.
Kasus bantuan untuk tsunami Aceh dan gempa Jogja misalnya, menjadi salah satu contoh bagaimana wajah Amerika yang humanis mendapatkan hati bagi masyarakat Aceh dan Jogja. Tetapi perluasan diagram venn Indonesia-Amerika melalui pola hubungan P to P ini perlu dikembangkan lagi secara lebih komprehensif, melalui upaya strategis yang sinergis, hal mana menjadi PR kita bersama. * * *

No comments: