Wednesday, November 01, 2006

Sumpah Pemuda, Sumpah Anti Korupsi





Michael Yudha W

JANUARI 1970, mahasiswa Indonesia membanjiri jalanan ibukota Jakarta. Mereka melakukan demonstrasi menentang korupsi yang sudah menjamur di tubuh birokrasi-pemerintah Republik. Sejarah mencatat, aksi ini merupakan demonstrasi anti-korupsi terbesar dalam kurun waktu 25 tahun sejak Indonesia diproklamasikan.

Aksi ini bahkan sempat mengancam stabilitas pemerintahan Soeharto yang sedang bergiat membangun fondasi ekonomi nasional. Saat itu, pasukan khusus dari angkatan bersenjata dikerahkan untuk menghadapi gerakan demonstrasi mahasiswa. Untuk meredakan ketegangan, Soeharto akhirnya menunjuk Komisi IV guna melakukan tinjauan dan memberikan rekomendasi konkret demi perbaikan selanjutnya. Dengar pendapat maraton kamudian digelar oleh Komisi selama beberapa bulan. Kalangan media, mahasiswa dan tokoh-tokoh politik nasional mengeksperikan pandangan mereka.

Di bulan Agustus, tepat di hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-25, genderang perang melawan korupsi itu ditabuh. “Seharusnya tidak perlu ada lagi keraguan, saya sendiri akan memimpin perjuangan melawan korupsi,” demikian pernyataan Presiden Soeharto dalam pidato nasional usai membacakan naskah proklamasi. Sungguh sebuah aksi Public Relations yang cantik dan mujarab tetapi tragis. Sebab fakta sejarah kemudian menyajikan cerita lain; gurita korupsi justru semakin menjadi, menciptakan wabah kemiskinan dan pengangguran bagi jutaan rakyat Indonesia serta merebaknya kekerasan sosial tanpa henti di seluruh pelosok nusantara. Dan akhirnya, Sang Jenderal Besar terpaksa lengser keprabon.

Di hari ke-14 September 2004, pasangan calon presiden dan wakilnya, Susilo Bambang Yudhoyono [SBY] dan Muhamad Jusuf Kalla [MJK] menggelar sebuah acara penajaman visi dan misi yang disiarkan oleh sejumlah stasiun televisi. SBY sendiri menyatakan, ”Saya akan memimpin langsung pemberantasan korupsi di negeri ini...” Janji tersebut ditegaskannya dalam dokumen “Membangun Indonesia yang Aman, Adil dan Sejahtera” yang menguraikan program kerja SBY-MJK pada masa kampanye. Dokumen tersebut mencatat bahwa sasaran pemberantasan korupsi adalah “berkurangnya secara nyata praktek korupsi di birokrasi, dan dimulai dari tataran pejabat yang paling atas.”

Kampanye politik Public Relations tersebut akhirnya diikuti dengan keberhasilan duet SBY-MJK sebagai Presiden RI yang terpilih secara langsung oleh lebih dari enam puluh persen rakyat Indonesia. Dua tahun sejak menjabat sebagai Presiden RI, jumlah penduduk miskin bertambah mencapai 39 juta per Maret 2006, pengangguran menghinggapi 11,1 juta warga dan peringkat Indonesia sebagai negara yang menarik bagi investasi justru turun drastis ke posisi delapan di bawah Rusia dan Korea Selatan [menurut Survey Japan Bank for International Cooperation, November 2005].

Sintesa Korupsi

Apa sintesa yang bisa dipetik dari hubungan kekuasaan dengan korupsi dari kasus Soeharto dan SBY tersebut? Pertama, sejarah mencatat bahwa gerakan anti korupsi yang dicanangkan pemerintah selalu menjadi lips service semata guna mencari dukungan publik untuk proses akumulasi kekuasaan dan kapital guna kepentingan status quo. Korupsi dalam pengertian usaha penggunaan sumber-sumber publik untuk tujuan pribadi [Theodore M. Smith] yang melibatkan elite politik jelas merupakan korupsi tingkat tinggi. Korupsi jenis ini umumnya bertujuan untuk menghimpun kapital.

Tetapi masalahnya kemudian, ke mana kapital itu akan digunakan? Untuk reinvestasi kembali di dalam negeri atau justru diekspor ke luar negeri? Menurut Smith, korupsi untuk tujuan reinvestasi dalam negeri umumnya digunakan dalam bentuk proyek konstruksi “urban housing”. Dari sini, sektor riil digerakan untuk memacu roda ekonomi dan pertumbuhan nasional. Tetapi pertumbuhan ini akan bersifat maya sebab dana yang digunakan adalah hasil korupsi. Barangkali kasus kredit macet yang dialami secara masif dalam dunia usaha di Indonesia beberapa tahun lalu – dan belum tuntas jelas hingga sekarang – menjadi indikasi bahwa dana korupsi di Indonesia memang dilarikan untuk reinventasi melalui proyek-proyek konstruksi. Sedangkan “pelarian modal” ke luar negeri oleh pengusaha kakap Indonesia yang terkait kasus korupsi menjadi penanda kedua bahwa korupsi di Indonesia juga bertujuan untuk mengekspor kapital.

Kedua, korupsi dapat menghancurkan aset potensial negara seperti antusiasme, idealisme dan simpati generasi muda bangsa, karena pelajar dan pemuda merupakan pemimpin masa depan serta pembaharu ekonomi [economics moderniser]. Semangat juang dan idealisme kaum muda Indonesia seringkali berbenturan dengan kenyataan yang mereka saksikan di lapangan kehidupan riil. Solidaritas dan empati mereka atas ketidakadilan sosial dan kemiskinan misalnya, segera mengerucut pada aksi-aski demonstrasi pro rakyat. Pada titik ini, demontrasi menentang korupsi telah menjadi sikap politik riil. Dan akhirnya, korupsi lebih cenderung merupakan persoalan politik ketimbang ekonomi. Korupsi akut yang menggurita dalam tubuh birokrasi jelas mereduksi produktifitas pemerintah. Akibatnya, korupsi mampu mengurangi dukungan kepada pemerintah baik di level nasional maupun di level propinsi dan kabupaten/kota.

Ketiga, sebagaimana dikatakan Bung Hatta bahwa korupsi sudah menjadi seni dan bagian dari budaya Indonesia [Indonesian Observer, 2 Juli 1970], maka upaya hukum dalam penanggulangan korupsi harus diikuti oleh gerakan pembaharuan budaya. Sebab watak birokrasi Indonesia semata-mata memang mewarisi langsung tabiat korup pegawai firma dagang kolonial VOC yang gemar memperkaya diri [serta menjadi salah satu penyebab kehancuran VOC itu sendiri]. Dan sejak jaman Mataram budaya ewuh pakewuh semakin dikokohkan dengan penyingkiran para priyayi yang kritis terhadap kebijakan dan perilaku atasan mereka.

Alternatif Strategi

Dalam dunia politik Indonesia, situasi lebih kompleks dan tidak stabil sehingga dapat berubah secara dramatis dalam tempo yang singkat. Gerak bandul stabilitas politik dapat ditentukan oleh kuat lemahnya dukungan terhadap gerakan anti korupsi dan pemberantasan korupsi. Semakin kuat dukungan diberikan, semakin mantap arah gerak bandul pada perubahan sosial yang menjadi harapan rakyat banyak.

Jika pada tahun 1998 gerakan politik nasional terpolarisasi antara pro status quo dan anti status quo [reformasi], kini saatnya mengalihkan energi rakyat menuju pada penggalangan kekuatan gerakan anti korupsi dengan cara-cara damai dan legal. Karena pengaruhnya yang besar terhadap hajat hidup orang banyak, korupsi dapat menjadi isu politik abadi yang secara moral sangat patut untuk diperjuangkan melalui beragam model gerakan anti korupsi. Misalnya melalui proses advokasi, kampanye penyadaran publik, riset maupun diseminasi informasi. Strategi ini akan semakin terasa dampaknya bila didukung oleh media massa, aparat hukum dan sikap politik pemerintah.

Alternatif strategi lain yaitu dengan melakukan pelacakan terhadap rekening konsultan hukum koruptor. Umumnya para koruptor memiliki pengacara. Melalui pengacaranya, para koruptor memberikan “surat kuasa pengacara” [hak tanda tangan yang sangat kuat] kepada pengacara yang bekerja untuk dirinya. Nah, pengacara inilah yang akan membuat perjanjian sejenis dengan pengacara kedua, demikian seterusnya secara berantai, sehingga pada akhirnya pengacara kesekian [baik atas nama perseorangan maupun atas nama firma mereka] tidak mengetahui lagi dari mana sumber uang yang mereka tangani. Cara ini sangat aman karena setiap pengacara hanya memiliki sedikit informasi dari pengacara sebelumnya. Bahkan setiap anggota mata rantai hanya berhubungan dengan individu di atasnya. Sehingga untuk membongkar jaringan ini harus dimulai dengan mengidentifikasi pihak pertama dalam mata rantai tersebut, yaitu pengacara yang secara langsung berhubungan dengan koruptor atau tersangka koruptor.

Memasuki tahun ketiga usia kepemimpinan SBY-MJK, ada baiknya kedua strategi tersebut segera dijalankan. Tentu dengan harapan agar rakyat yang telah babak belur dihantam bencana dan menderita penyakit kemiskinan akut dapat segera sedikit keluar bernafas dari kubangan lumpur ketidakadilan sosial. Korupsi harus menjadi musuh bersama yang diperjuangkan sepanjang masa, hingga masyarakat adil makmur sejahtera benar-benar terwujud di persada nusantara.

Barangkali, momen Sumpah Pemuda menjadi saat yang tepat untuk memekikkan lantang sumpah anti korupsi bangsa Indonesia, yang disertai dengan aksi-aksi riil dengan gagah berani. * * * [Penulis adalah Peneliti Mandiri dan Mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta 1997-1998, kini tinggal di Medan]

No comments: