Wednesday, November 01, 2006

Kios Sabina, Wajah Lain Globalisasi



By Michael Yudha W

APAKAH anda pernah melihat sebuah kios? Sungguhkan anda telah mengenalinya? Sebuah kios dimana aneka dagangan rokok, minuman ringan dalam kaleng, obat nyamuk, sampo, sabun, tissue, permen, obat generik dan makanan ringan seperti kacang kulit, wafer, serta biskuit ini tertata rapi berjajar, bertumpuk serta menggelantung pada sebuah kios kecil dekat perempatan jalan. Di simpang tersebut, kepadatan lalu lintas dan kebisingan jalanan memekik bercampur debu, terik matahari dan hasrat manusia untuk bertahan hidup menjadi teman keseharian bagi Sabina Tambunan, Si Empunya warung. Toch janda beranak satu [kini duduk di bangku SD kelas enam] ini selalu terlihat ceria dalam obrolan bersama tukang parkir, pengamen, pemain catar jalanan, “mandor angkot” ataupun pembeli yang mendatangi kiosnya.

“Ya… beginilah Bang, namanya juga cari makan. Yang penting tidak bikin susah orang lain,” bicaranya ringan tanpa beban disertai seulas senyum ketika saya singgah sesaat membeli teh botol dingin usai melakukan assessment di daerah Mandala, pemukiman kumuh dekat rel kereta api. Kios Sabina memang bukan satu-satunya kios yang beroperasi di wilayah tersebut. Jika kita ambil titik tengah perempatan jalan sebagai pijakan awal dan terus berjalan ke arah Utara, Selatan Barat atau Timur, maka akan kita jumpai puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan kios seperti dimiliki Sabina di sepanjang jalan yang entah akan berakhir di mana ujungnya. Belum termasuk ribuan kios lainnya yang bertebaran berhimpit dan berdesakan memenuhi pedalaman pasar-pasar tradisional. Bila dilihat dari ukurannya, kios-kios tersebut luasnya rata-rata hampir sama dengan luas enam lantai keramik yang menghiasi mal-mal mewah di kota Medan ini.

Ketidakadilan Global

Pada hakekatnya, dalam dunia dagang yang mengambil bentuk kios sebagaimana dikelola Sabina tersebut, tidak ada yang berubah antara yang “tradisional” dengan apa yang disebut “modern” yang umumnya disimbolkan oleh kehadiran mal. Keduanya bermuara pada usaha mengejar laba. Masalah tampilan kios, faktor kenyamanan dan manajemen pengelolaan lebih merupakan akibat dari usaha untuk bertahan, sebuah jawaban dari prinsip ”survival of the fittest”. Sebab dalam jagad perdagangan berlaku juga hukum rimba bahwa yang terkuatlah yang akan menang.
Dus, apa yang dikatakan Arief Budiman memberikan deskripsi yang jelas tentang masalah perdagangan ini. “Saya kira seperti masalah pedagang kecil dan pedagang besar. Pedagang kecil bisa bertarung, tetapi selama mereka tidak memiliki modal yang besar dan teknologi, mereka akan dikuasai pedagang besar. Modal dikuasai pedagang besar, pasar juga dikuasai mereka. Misalnya kita kalau mau ekspor ke Inggris atau negara besar, kita harus melalui calo mereka juga. Kalau kita buka jaringan sendiri tidak mungkin,“ demikian pidatonya dalam sebuah acara penerimaan Achmad Bakrie Award di Jakarta pada pertengahan Agustus 2006 lalu. Sosiolog penantang teori modernisasi tersebut diganjar uang seratus juta rupiah karena dianggap berperan penting dalam melakukan suatu terobosan dalam menggelorakan sebuah ide dalam khazanah ilmu-ilmu sosial di Indonesia, terutama dalam masalah pembangunan dan modernisasi.
Dalam konteks globalisasi seperti gerak masyarakat dunia saat ini, keberadaan dan pertumbuhan mal yang demikian pesat semakin mempertegas keterkaitan antara pedagang besar, modal, teknologi dan pasar sebagaimana dikatakan Arief. Sehingga kios milik pedagang kecil seperti Sabina pun tidak lagi memiliki alternatif lain selain [tidak bisa tidak] harus menjual “barang-barang global” milik pedangan besar [korporasi]. Pun masih disertai keharusan lainya, bahwa mereka “hanya boleh” mengambil sedikit keuntungan yang besarnya sudah ditentukan juga oleh pasar. Kesempatan untuk menjual barang lain juga semakin tertutup manakala para pedagang besar ini juga telah menguasai rantai distribusi secara kuat. Tidak terlihat lagi barang-barang produksi warga lokal “asli” seperti limun atau rokok kretek. Semuanya telah menghilang dari pasaran. Gempuran iklan dari korporasi global mungkin telah menyingkirkan dan menguburnya. Bahkan meski para pemodal besar tersebut tinggal ribuan kilometer nun jauh di belahan bumi sebelah Utara sana - dengan segala fasilitas dan kenyamanan dari laba besar yang mereka peroleh dari “barang-barang global” yang dijual penuh jerih payah oleh seorang pedagang kecil seperti Sabina - tali kendali pasar senantiasa dalam genggaman mereka.

Kios besar [mal] yang dikelola pedagang besar bermodal besar [korporasi] umumnya harus berkompetisi ketat untuk memenangi persaingan.
Dengan segala cara mereka berusaha memperbesar keuntungan dengan semakin menekan pengeluaran. Sikap rakus, tamak dan watak gigantik ini barangkali sudah menjadi roh globalisasi. Sebaliknya, para pedagang kecil seperti Sabina justru tidak perlu khawatir akan masalah kompetisi dagang tersebut. Menurutnya, di antara mereka [sesama pemilik kios pinggir jalan] tidak pernah merasa bersaing atau sengaja melakukan usaha untuk menjatuhkan kompetitornya. “Namanya berusaha, pastilah ada rejekinya masing-masing. Sudah ada itu yang mengatur [Sabina percaya bahwa Tuhan turut campur tangan dalam hal memberikan rejeki untuk seseorang]. Jadi tidak ada itu niat jahat atau persaingan. Lagi pula kios ini kan untungnya masih kecil, tapi cukuplah untuk biaya makan hari ini,” wanita bertubuh tambun namun gesit dalam kerja tersebut mengakui setidaknya ada sedikit perubahan penghasilan dari kerja sebelumnya sebagai tukang cuci pakaian selama tiga tahun sejak suaminya meninggal.
Demikianlah kenyataan globalisasi menghadirkan anomali dan paradoksnya sendiri. Sang Pemenang masih merasa tidak puas atas kepemilikan dan hasil yang telah dicapainya sementara Si Pecundang terpaksa “berdamai” dengan ketidakadilan yang menghantamnya dalam kehidupan sehari-hari. Dan Joseph Stiglitz, ekonom pemenang Nobel tahun 2001 pernah memberikan peringatan yang tajam atas ketidakadilan akibat globalisasi ini. “Yang menjadi catatan penting dari globalisasi adalah semakin lebarnya kesenjangan antara janji dan kenyataan, semakin banyak pihak yang kalah dan sedikit pemenang, semakin deras aliran uang dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya padahal yang terjadi seharusnya adalah sebaliknya,” kritiknya dalam Financial Times edisi 8 september 2006.

Spiritualitas Sabina
Pada diri Sabina, semangat dagang terlihat begitu besar tetapi juga memiliki batasan etis. Membuka kiosnya sejak jam delapan pagi hingga jam delapan malam jelas menunjukkan kerja keras dan ketekunan yang dimilikinya. Tetapi kemampuan diri menerima keuntungan yang hanya berkisar antara seratus hingga dua ratus ribu rupiah selama hampir dua belas jam lebih menjaga kiosnya di tepi jalan yang panas, bising dan sumpek jelas bukan pekerjaan yang nyaman. Toch sejak menerima bantuan keuangan mikro dari CORDIA lima bulan yang lalu, Sabina justru semakin bersemangat. Mimpi memiliki toko yang lebih besar disimpannya kuat dalam ingatan perempuan tamatan SMA ini. Meski ia sendiri tidak yakin kapan mimpi itu akan terwujud.

Sabina adalah orang biasa dengan semangat luar biasa. Tentu ada sesuatu yang menjadi keyakinanya. Ada kalkulasi kepercayaan yang menjadi dasar etika usaha yang dimiliki Sabina. Meski bukan seorang Calvinist [Sabina memeluk agama Katholik] namun semangat berwirausaha Sabina tidak kalah dengan spirit Etika Protestan yang melanda Eropa pada awal abad keduapuluh. Tetapi mungkin juga karena atmosfer masyarakat Indonesia yang cenderung mistik dan religius dimana agama menjadi salah satu tempat melepas beban sekaligus oase bagi kepenatan hidup. Sabina akhirnya mampu menerima diri sendiri apa adanya. Berdamai dengan masa lalu bersama konflik pribadi yang dialaminya.

Tetapi penerimaan diri Sabina tidak identitik dengan menyerah pada nasib, melainkan menerima kenyataan hidup sebagaimana adanya dan dengan demikian menumbuhkan sikap serta semangat untuk bekerja demi hidup yang lebih baik. Inilah etos kerja yang dimiliki Sabina. Tidak rakus dan tamak hingga sampai dan dengan sengaja merugikan orang lain sebagaimana umumnya watak kapitalisme, tetapi tekun dan keras dalam perjuangan hidup meski hasil baru sejumput. Sebuah prinsip yang patut mendapat acungan jempol. Sebab dengan tidak merugikan pihak lain, Sabina sejatinya telah mampu menempatkan martabat orang per orang sejajar dan sama nilainya dengan dirinya sendiri.

“Kalau dipikir-pikir setiap orang kan pasti punya masalah. Tapi bukan berarti kita harus berpura-pura untuk tidak mau peduli dengan masalah orang lain kan?. Saya senang ketika datang ke gereja meminta bantuan dan ternyata pastor paroki mau memberikannya. Inilah awal mula saya kenal CORDIA dan mendapatkan bantuan,” ceritanya. Meski termasuk kategori orang miskin, Sabina masih merasa bahwa dirinya adalah orang yang cukup beruntung. Tentunya jika dibandingkan dengan kondisi dan jumlah orang miskin di wilayah Medan dan sekitarnya.

Sebagaimana dicatat oleh BPS tahun 2003, jumlah keluarga miskin di Medan mencapai 113.449 KK dari total keluarga sebanyak 412.024 KK atau sama dengan 2.010.676 jiwa. Sedangkan jika diambil populasi di propinsi Sumatera Utara yang mencapai 12.123.360 jiwa atau 2.621.333 KK, di dalamnya terdapat 966.299 KK miskin. Angka-angka kemiskinan ini akan semakin meningkat jika digabungkan dengan jumlah penduduk miskin dunia.

Tetapi kemudian, apakah kita benar-benar percaya bahwa takdir manusia sudah ditentukan oleh “invisible hands”? Jika Sabina percaya bahwa takdir manusia ditentukan oleh usahanya sendiri, melalui kerja keras dan ketekunan misalnya, sebagaimana ia lakukan sendiri selama hidupnya namun ironisnya belum menampakkan perubahan hidup yang lebih baik, lantas kepada siapa kita harus berpaling? Jika takdir seorang pedagang kecil pinggir jalan, jutaan Sabina lainnya, terlihat telah ditentukan oleh gerak globalisasi, oleh “the invisible hands”, maka cerita tentang jalan hidup mereka tak ubahnya seperti pantulan cermin kehidupan Sysiphus.

Seperti tuturan mitologi Yunani tentang Sysiphus, demikian takdir manusia harus dijalani. Oleh karena sebuah kutukan yang kita tidak tahu siapa yang menyebabkannya Dan dari mana asalnya, Sysiphus akan selalu membawa batu besar di punggungnya sembari mendaki gunung hingga mencapai puncak sebagai tujuannya. Tetapi nahas nasib berkata lain, Sysiphus jatuh bersama batu besar tersebut dan menggelinding ke bawah. Dan ia harus memanggul batu tersebut dan mendaki gunung kembali, namun terjatuh kembali di tengah perjalanan dan kembali merangkak dari bawah. Demikian berulang kali Sysiphus jatuh bersama batu beban hidupnya untuk kemudian memulai langkah awal mendaki gunung. Dan kesekian kalinya cerita ini berulang, terjatuh dan mendaki lagi, jatuh dan naik kembali, lagi… dan lagi…
Lalu percayakah kita bahwa ketidakadilan global yang berlangsung dalam masyarakat dunia saat ini sungguh tidak dapat diubah? Haruskah kita biarkan jutaan Sabina lainnya bernasib dan menjalani takdir hidupnya seperti Sysiphus?* * *

No comments: