Thursday, July 27, 2006

“Bencana Sosial dan Kemiskinan Struktural”



oleh: Michael Yudha W


“A world mired in poverty cannot be a world at peace” [Kofi Annan, Secretary-General of The United Nations]


TIGA akar persoalan sosial yang melahirkan bencana global saat ini adalah kemiskinan, kekerasan dan ketidakadilan struktural. Tiga kekuatan dunia yang begitu menggurita berkuasa serta berebut pengaruh satu sama lain secara ketat ialah negara, pasar dan masyarakat. Sedangkan tiga kecenderungan utama masyarakat dunia dewasa ini adalah konsumsi, kompetisi dan konflik

Ketiga tesis tersebut adalah gambaran riil dari dunia kita yang sedang lari tunggang langgang tak tentu arah atau sebagaimana dianalogikan oleh Anthony Giddens seperti seorang perempuan dalam kondisi hamil tua. Dengan segala daya merawat dan menahan sakit atas kandungan bersamaan dengan penantian proses kelahiran sang jabang bayi [peradaban] sekaligus suka cita pengharapan akan datangnya sang bayi dalam keadaan sehat dan lucu [dunia yang lebih baik] sebagaimana diimpikan seluruh warga bumi.

Bencana Sosial
Kemiskinan, kekerasan dan ketiadakadilan struktural tumbuh dan merajalela di setiap belahan bumi. De facto tidak satupun negara di dunia ini yang bebas dari ketiga jenis bencana sosial tersebut. Kerusuhan sosial dan gerakan buruh yang diiringi demonstrasi masif mahasiswa Le Sorbonne yang sempat melumpuhkan 35 kota di Prancis, “konflik minyak” yang diiringi rangkaian ledakan bom di Iraq dan ketidakstabilan “pemerintahan demokratis” bentukan Amerika, kekerasan dan “diplomasi abadi” di Tanah Suci antara Israel dan Palestina bersamaan dengan ancaman pemotongan dana bantuan untuk para pejuang Palestina, hingga perlawanan oposisi yang memecahkan kebekuan negeri atap dunia Nepal dengan tuntutan mundur Raja Gyanendra sampai pergerakan sekitar 3.000 kaum “Mujahidin Afghani” dan alumninya di Indonesia yang sempat menimbulkan “teror massa” adalah gambaran riil atas bencana sosial itu sendiri.

Dikatakan sebagai bencana sosial sebab ketiganya timbul sebagai akibat dialektika tesis – antitesis – sintesis dalam perspektif perkembangan [juga kemunduran] peradaban manusia. Peradaban dimaksud adalah aneka produk dari setiap jenis tindakan, kebijakan maupun intervensi yang dilakukan oleh tiga pilar utama penyangga tata dunia saat ini yaitu pilar politik [negara], pilar ekonomi [pasar] dan pilar sosial [masyarakat sipil] berikut perubahan sosial yang menyertainya sebagai konsekuensi langsung-logis atas tindakan, kebijakan serta intervensi itu sendiri.

Bencana sosial tersebut juga bersifat masif-destruktif dan struktural-kultural. Masif karena terjadi di hampir setiap titik dalam peta geo-politik bumi dan destruktif karena menelan korban umat manusia dalam kuantitas yang signifikan bahkan mampu melumpuhkan kemampuan survival manusia. Bersifat struktural-kultural oleh karena “dalang” bencana sosial ini melibatkan para pemegang otoritas formal-legal yang memang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menentukan masa depan serta nasib sebagian atau hampir seluruh warga bumi. Minimal nasib dan masa depan warga sebuah negara. Sedangkan aspek kultural bencana sosial dimaksud dapat terlihat dari nilai-nilai dasar, ideologi atau paham yang menjadi landasan pada setiap jenis tindakan, kebijakan maupun intervensi yang dilakukan.

Dengan menyadari bahwa bencana sosial hakekatnya timbul karena ulah manusia sendiri dan memiliki dampak yang tidak kalah destruktifnya daripada bencana alam, maka upaya mereduksi bencana sosial perlu dilakukan sejak dini sebagai langkah antisipasi dan menjadi bagian dari sistem peringatan dini [early warning system] bersama dalam konteks hubungan trilateral negara, pasar dan masyarakat.

Posisi Indonesia paska kunjungan Condoleezza Rice [Menlu AS], Tonny Blair [Perdana Menteri Inggris] dan Paul Wolfowitz [Presiden World Bank] adalah jelas. Sebagai sebuah “negara dunia ketiga” yang sedang berjuang mewujudkan demokrasi dengan populasi mayoritas beragama Islam dengan kekayaan alam yang melimpah dipandang oleh “Barat” sebagai mitra strategis. Maka sudah sepatutnya Indonesia lebih percaya diri dan lebih berinisiatif berperan dalam percaturan tata dunia guna mewujudkan dunia yang lebih baik. Dalam konteks ini adalah bagaimana kontribusi Indonesia bagi pengurangan dan pencegahan bencana sosial dan kemiskinan struktural.

Sebagai contoh kalkulasi sederhana, jika Indonesia mampu mengurangi tingkat kemiskinan sebagaimana ditargetkan dalam tujuan Deklarasi Milenium [MDGs] yang ditandatangani hampir sebagaian besar negara anggota PBB pada 8 September tahun 2000 lalu, maka jumlah ini akan berdampak pada pengurangan kaum miskin dunia. Ujung-ujungnya, kemampuan konsumsi masyarakat meningkat dan ini berarti kabar baik bagi para kapitalis dunia, minimal ekspansi pasar dapat dilakukan. Demikian halnya jika Indonesia berhasil menegakkan demokrasi maka ia menjadi satu-satunya negara dengan populasi Islam terbesar di dunia yang akan lebih diterima dan “menyenangkan” pihak Barat. Kepastian hukum, penghormatan atas HAM dan martabat manusia serta keterbukaan masyarakat Indonesia sebagai buah keberhasilan praktek demokrasi jelas akan menaikkan citra positif dan posisi tawar Indonesia dalam sistem tata dunia.

Strategi Nasional
Untuk meningkatkan kapasitas Indonesia dan peran serta pengaruhnya pada tata dunia, maka lima startegi nasional berikut harus secepatnya dikerjakan sebagai kontribusi riil Indonesia dalam hal pengurangan dan pencegahan bencana sosial serta kemiskinan struktural yang lebih besar. Di sinilah jargon Think Globally Act Locally menemukan ladang garapannya.

Pertama, tuntaskan masalah KKN sebagaimana menjadi tuntutan reformasi 1998 dengan mengadili kasus-kasus korupsi dengan putusan akhir hukuman mati bagi para koruptor serta pengembalian aset rakyat yang dikelola negara sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Hukuman mati juga bisa diperluas bagi para penjahat narkoba dan bandit lingkungan hidup yang telah merusak hutan Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa KKN telah menjadi kontributor utama bagi terciptanya masyarakat miskin dalam jumlah yang besar karena KKN turut menghanguskan kesempatan rakyat untuk mendapatkan hak-hak mereka.

Kedua, ciptakan kebijakan publik pro rakyat [dana lebih besar untuk pendidikan, kesehatan dan kredit mikro] yang disertai dengan pengawasan ketat untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme berulang. Alokasi 20% APBN untuk sektor pendidikan dan implementasi sungguh-sungguh pendidikan dasar gratis di seluruh Nusantara menjadi contoh yang baik atas kebijakan publik pro rakyat. Asuransi kesehatan gratis bagi setiap warga negara dan jaminan layanan kesehatan gratis bagi ibu-ibu yang mengandung sampai anak usia lima tahun akan menjadi dasar terciptanya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

Ketiga, membuka seluasnya akses informasi atas proyek-proyek pemeritah yang berhubungan dengan kepentingan rakyat dan pengelolaan atas kekayaan alam [infrastruktur; jalan, listruk, air, kebijakan dan pengembangan industri migas, pembukaan lahan sawit, dll.] dan kemudahan aparatur negara dalam pelayanan publik anti KKN seperti pembuatan KTP, SIM, STNK, surat ijin usaha, tagihan pajak, dll.

Keempat, perkuat relasi sipil dengan mengembangkan jaringan komunikasi intensif dengan berbagai kelompok sosial dalam masyarakat seperti komunitas bisnis, buruh, petani, kaum muda, intelektual, rohani, budayawan, untuk mencapai pemahaman bersama [mutual understanding] atas berbagai masalah sosial yang terkait dengan kepentingan dan eksistensi masing-masing. Pentingnya komunikasi dan keterbukaan sosial ini agar mulai terjalin kultur dialog yang kritis sekaligus kondusif bagi upaya dini pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian abadi dalam segala aspek. Mengutip pernyataan Koffi Annan di atas, “A world mired in poverty cannot be a world at peace” dapat dijadikan semangat dalam mengembangkan jaringan komunikasi dimaksud.

Kelima, kebebasan pers dan kepastian hukum akhirnya menjadi pilar utama menuju masyarakat yang sejahtera. Tidak ada gunanya pers yang kritis-investigatif tanpa keberlanjutan pengadilan dan eksekusi atas kasus-kasus hukum yang telah diberitakan dan berdampak pada potensi pemangkasan martabat dan HAM. Kerjasama yang baik antara media, kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dengan tetap menghormati independensi dan fungsi masing-masing akan menjadi kekuatan progresif penangkal aneka kejahatan yang dapat mencegah serta meluasnya bencana sosial dan kemiskinan struktural dimaksud.

Akhirnya, mau tak mau, suka atau tidak, kemampuan bangsa Indonesia dalam hal penanggulangan, antisipasi serta upaya penyelesaian bencana sosial dan kemiskinan struktural akan berpengaruh pada citra kita bersama sebagai sebuah negara bangsa yang bermartabat atau justru bejat. * * *

2 comments:

Anonymous said...

hallo yud...
masih ingatkah ma aku? tidak sengaja kau menemukan blog mu dan asyik membaca, hehehehe...
kmau dimana sekarang?

Rosna 96

Andre said...

mas...sumber2 tulisannya dari mana saja,,pengen baca jg..trims