Thursday, July 27, 2006

Ketika Seulawah Kembali Ke Aceh



* Michael YUDHA Winarno *

KETIKA Garuda raksasa yang saya tumpangi menjejakkan kakinya pada landasan pacu Sultan Iskandar Muda, rasa syukur kepada-Nya saya sampaikan dalam batin bersamaan hembus nafas penuh kelegaan. Tiba-tiba ingatan saya merekam tradisi Paus Yohanes Paulus II, pemimpin umat Katolik sedunia yang selalu mencium tanah saat pertama mendarat di sebuah wilayah yang dikunjunginya. Saya pun sebenarnya ingin melakukan hal yang sama [sebab ini kunjungan pertama saya ke Banda Aceh], tapi tentu saja rasa malu yang lebih besar membuat keinginan itu tidak terwujud. Entah kenapa, saya tidak mampu bersujud mencium tanah-bumi Rencong. Langkah kaki saya berjalan terus hingga seorang kawan menjemput di pintu keluar bandara. Rasa malu itu telah menghasilkan penyesalan dalam batin, sebab sudah lama memang saya ingin menjelajahi tanah Rencong tapi apa hendak dikata, justru Tsunamilah yang berhasil menghadirkan dan mengundang saya datang ke Aceh.

Di atas sepeda motor yang meluncur menuju posko relawan YEU Banda Aceh, saya sempat menengok kembali ke arah burung besi itu; Garuda. Ah, bukankah dulu ia bernama Seulawah alias Gunung Emas? Pesawat DC-3 pertama yang dimiliki Republik ini kala masih balita, sumbangan rakyat Aceh sekaligus tanda cinta dan bakti setia mereka pada Indonesia. Lalu terbentuklah Indonesia Airways yang sekarang bernama Garuda Indonesia sebagai maskapai penerbangan nasional yang terbang ke seluruh penjuru dunia. Aceh sejak mula memang telah menerbangkan Indonesia. Tetapi ibarat air susu yang dibalas dengan tuba, Indonesia justru menghempaskan Aceh ke dalam kubangan lumpur penderitaan. Ironis, tragis dan miris rasanya.

Dalam kegamangan hati karena mengingat Seulawah itulah saya akhirnya sampai di tujuan. Tapi, ah di mana ada bencana? Sepanjang jalan belum tercium “aroma disaster” seperti telah ditayangkan oleh televisi. Atau mungkin kerena empatpuluh hari telah lewat paska tsunami sehingga situasi mulai membaik. “Nanti di Lhok Nga, Krueng Raya dan Ulee Le, Mas akan lihat sendiri seperti apa itu Tsunami, sekarang kita istirahat sebentar, makan dan minum,” tawaran Ijal seolah menjawab pertanyaan dalam benakku.

Batu Persoalan dalam Ingatan

Lepas Lohur kami meluncur bersama labi-labi, public transportation khas Aceh yang sekaligus dioperasikan sebagai mobil klinik keliling, menyisir jalan sepanjang pantai ke arah pelabuhan Malahayati. Entah berapa ribu pasien telah dilayani oleh labi-labi ini. Kami sempat berhenti persis di tengah lokasi bencana. Saya bayangkan gulungan ombak setinggi sepuluh meter itu menghancurkan kota Banda. Sengaja saya menghadap ke arah laut, memejamkan mata dan merentangkan ingatan jauh ke masa lampau. Tsunami ini bahkan lebih hebat dari serangan Belanda 132 tahun yang lalu.

Seperti dikisahkan oleh Paul van Veer dalam De Atjeh Oorlog [Perang Aceh], 26 Maret 1873. FN Nieuwenhuijzen langsung meneriakkan maklumat perangnya tatkala kapal komando Citadel van Antwerpen baru saja membuang jangkarnya di laut antara Pulau Sabang dan daratan Aceh. Ditambah informasi cendekiawan tukang Snouck Hurgronje yang melaporkan dalam catatan ilmiahnya bahwa Aceh adalah sasaran empuk karena hanya dihuni sekumpulan pribumi penyamun dengam mental penipu cerdik ala kancil. Tentara Kompeni dengan penuh keyakinan diri merasa seperti kawanan gajah yang dengan gampang melabrak ladang jagung tanpa perlawanan.

Keangkuhan dan kepongahan Belanda rupanya harus dibayar mahal. Mimpi untuk menaklukkan Aceh akhirnya tak terbeli. Aceh tidak pernah bersimpuh di bawah kaki sang kolonialis. Neuwenhuijzen dan para Menir kerajaan Belanda lainnya harus menelan pil pahit kenyataan, bahwa “Acehlah yang terakhir ditaklukkan Belanda sekaligus yang pertama terlepas dari kekuasaannya.” Perang Aceh akhirnya menjadi pelajaran paling berharga dan tidak akan pernah dilupakan dalam catatan sejarah militer Belanda. Lalu siapa yang bisa meramalkan bahwa kelak akhirnya justru “ombak yang berlabuh di pantai” atau dalam bahasa Jepang artinya “Tsunami”, yang justru meluluhlantakkan Aceh.

“Mas, ayo kita lanjut ke Bukit Soeharto, ada minum aqua di labi-labi kalau haus.” Sentuhan tangan Ijal pada pundakku menghadirkan kembali kesadaranku pada kekinian. “Gila, benar-benar gila, hanya orang-orang yang sangat tegar yang bisa menerima bencana seperti ini,” batin saya dipenuhi ragam tanya perihal kehendak Sang Pencipta. Beribu pertanyaan susulan sontak menyerbu dan saya putuskan untuk menghentikan sementara catatan perjalanan di tanah Rencong ini.

Melewati pelabuhan Malahayati yang mulai berfungsi kembali, di bulan kelima tahun 1426 Hijriah pada kunjungan kedua di Nanggro Aceh Darussalam ini, ambulance yang saya tumpangi mulai menanjak ke arah Bukit Soeharto. “Ah, Soeharto, namamu pun engkau abadikan untuk seonggokan bukit. Belum cukup rupanya engkau namai perbukitan di lintasan Balikpapan-Samarinda dengan namamu yang konon di dalam perutnya mengandung penuh biji besi dan emas, atau semua perbukitan yang membujur di sepanjang garis ekuator ini harus menyandang namamu yang terhormat?”, batinku memprotes sembari mengenang seorang kawan lama yang tertembak peluru aparat di Semanggi, dan menjadi “tumbal” reformasi yang kini terhenti.

Puncak Bukit Soeharto telah kami lewati dan sepanjang jalan menuju Buerneuet hingga Lampana ibarat menempuh perjalanan di sebuah taman raksasa di atas langit. Perbukitan terbuka menghijau begitu dekat di kiri-kanan, langit biru jernih menggantung di atas dan seolah kami dapat menyentuhnya. Pandangan mata bahkan lepas tertuju pada Seulawah, puncak gunung tertinggi di Banda. Bahkan rombongan sapi yang merumput di lereng perbukitan dapat kami lihat dengan jelas. Sementara sopir yang mengemudi ambulance juga harus berhati-hati manakala seekor anak sapi tiba-tiba melintas di jalan menyembul dari balik tanaman perdu yang daunnya menjalar menutupi sebagian bahu jalan. Ah, keelokan alam ini setidaknya cukup memberikan keteduhan hati di tengah desingan peluru dan konflik politik tanpa akhir antara pasukan Republik dengan Gerakan Aceh Merdeka. Di Buerneuet kami singgah untuk memberikan layanan kesehatan, sementara di Blang Ulam kami melakukan survey awal untuk sebuah rencana pengembangan desa wisata.

Tidak ada informasi yang pasti tentang siapa yang mulanya bermukim di Blang Ulam ini. Yang jelas, kondisi tanah cukup subur bagi warga setempat yang menjadikannya sebagai lahan budidaya cabai. Sementara sebagian warga lainnya berprofesi sebagai nelayan dan buruh tambak di sepanjang pesisir pantai yang kini hancur oleh Tsunami. Jumlah mereka tidak banyak. Antara dua puluh hingga tiga puluh keluarga mendiami area ini seperti komunitas gelandangan yang mendiami kolong-kolong jembatan ibukota. Ada juga beberapa keluarga “pelarian” di dalamnya. Datang menginap satu-dua malam untuk kemudian pergi lagi entah ke mana. Dan suatu hari datang kembali di tengah malam. Meraka tidak memiliki rumah lagi karena habis tersapu Tsunami dan hanya tinggal di tenda-tenda darurat atau rumah panggung sederhana dari kumpulan kayu apa adanya yang berhasil mereka dapatkan. Anak-anak bermain dengan lumpur bertelanjang kaki dan perkakas rumah tangga ala kadarnya bergeletakan di sembarang tempat. Tidak ada pagar pembatas yang cukup jelas di wilayah ini selain pagar kawat yang jauh di pinggir jalan untuk menghalangi ternak sapi atau kambing yang sembarangan menyeberangi jalan.

Antok [24 tahun], warga setempat yang mengaku datang dari Meulaboh delapan tahun lalu untuk mencari rejeki dan kini telah beristri dengan seorang anak perempuan yang masih balita. “Saya dulu bekerja membantu tokai tambak tapi sekarang ya hanya tanam cabai. Usaha tokai bangkrut karena tentara sering datang meminta dan orang itu [sebutan untuk aktivis GAM] juga.” Dirinya mengaku tidak memiliki rencana apa-apa selain tetap mendiami area Blang Ulam meski tanah tersebut milik pemerintah dan mereka hanya mendapatkan hak guna mengolah lahan. Hampir separuh dari jumlah keluarga yang mendiami wilayah ini tidak memiliki kartu keluarga atau identitas lainnya. Bukan karena hilang oleh Tsunami tetapi memang karena mereka tidak pernah memilikinya. Dengan masa depan pendidikan anak-anak mereka yang tidak pasti, pola hidup yang sangat sederhana dan tempat bermukim ala kadarnya, dua pertanyaan saya lontarkan pada diri sendiri. Apakah mereka sesungguhnya adalah manusia-manusia yang penuh syukur atau fatalis? Atau apa yang sebenarnya mereka cari dan maknai tentang hidup ini?

Langit Harapan dan Kekaburan

Ah, bukankah hidup ini begitu singkat? Life, however long, will always be short. Too short for anything to be added. Demikian Wislawa Szymborska, penyair Polandia penerima Nobel Sastra 1996 berpuisi. Ia seperti hendak menyajikan kelamnya hidup leluhur manusia; hidup yang demikian singkat, begitu singkat sehingga sepanjang apa pun ia terentang tetap tak sanggup menampung sekaligus memekarkan hal-hal baru. Dan di Blang Ulam, waktu memang seolah berhenti berputar. Hari kemarin, sekarang dan esok adalah sama. Bahkan Tsunami secara hakiki tidak mengubah sama sekali pola hidup mereka. Bangun tidur, menanam cabai atau menjaga ternak atau mencari ikan di sela-sela akar bakau, pulang ke rumah, makan ala kadarnya, istirahat malam sambil bercumbu dengan pasangan dan anak-anak kemudian mereka ciptakan tanpa rencana dan tujuan tertentu. Semuanya seolah mengalir begitu saja ringan tanpa beban dan “damai tenteram”. Dan sebuah catatan kaki lalu saya tandaskan dalam sanubari, sekiranya mereka bahagia dan sadar dengan kenyataan hidupnya, untuk apa saya mempersoalkan kehidupan mereka?

Perjalanan melintasi wilayah yang penuh dengan “hot spot” dengan pemandangan alam demikian cantik akhirnya berujung di Lampana, untuk kemudian “balik kanan” pulang ke posko. Tidak ada korban Tsunami di desa ini tetapi kami tetap memberikan layanan kesehatan mengingat service seperti ini tidak pernah dinikmati oleh warga setempat. Bahkan sebuah puskesmas, baru direncanakan peresmiannya bulan depan. Dan semoga saja program subsidi BBM [Bahan Bakar Minyak] yang sebagian tercurah untuk bidang kesehatan dapat mereka nikmati secara gratis. Jadi calon pasien nantinya tidak perlu mengeluarkan lembaran rupiah.

Melihat tentara menjaga desa Lampana tentu bukan berita yang menyenangkan sebab artinya desa ini dinyatakan sebagai salah satu basis GAM. Jadi potensi konflik yang berlumur darah, kontak senjata, bisa terjadi tiba-tiba dengan alasan keamanan. Lebih tidak menyenangkan lagi karena penyakit demam berdarah yang sekarang menghantui warga desa [sebelumnya desa ini imun dari demam berdarah] ternyata awalnya berasal dari pergantian pasukan TNI dari Papua yang pernah bertugas cukup lama di Lampana. Ah Lampana, setengah abad lebih dirimu setia pada Republik tapi jalan desa beraspal pun tidak dihadiahkan kepadamu. Dan ketenangan-kedamaian yang engkau tampilkan di permukaan seperti hendak menyembunyikan duka-lara jiwamu yang lelah menyaksikan drama kekerasan di serambi kampung halaman sendiri. Engkau sendiri mengatakan bahwa dirimu lebih takut dan trauma terhadap DOM, senjata, penculikan, pembunuhan serta pemerkosaan daripada terhadap Tsunami.

Dan Lampana yang lain dengan mudah kita temukan di belahan dunia ini. Kekejian-pembantaian etnis di Jerman dan Armenia, perang saudara di Rusia dan China, dan penumpasan orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia, perang etnis di Kalimantan, penumpasan antarumat beragama di Maluku dan Poso yang hingga sekarang tak juga reda, seperti hendak menegaskan bahwa sejarah kemanusiaan akan selalu ditulis dengan darah dan mencatat seluruh ragam kegilaan oleh menumpuknya kekuatan destruktif yang bisa menghancurkan dirinya sendiri, berkali-kali seolah tak kenal jera. Kekejaman manusia terhadap sesamanya tidak dengan sendirinya sirna.

Bahkan manakala Tsunami telah meratakan segala apa yang berdiri di muka bumi, Aceh tetap bergolak oleh sengketa politik. Solidaritas sebagai sesama korban hanya isapan jempol belaka. Berbagai jenis bantuan kemanusiaan yang tidak pernah membedakan agama, jenis kelamin, suku, ideologi dan kewarganegaraan terpaksa diinterogasi di tengah perjalanan ke mana handak didistribusikan. Dan masih ditambah ancaman serta permintaan “upeti” kepada para pekerja sosial – tim kemanusiaan yang membawanya. Dan para pekerja sosial – tim kemanusiaan itu seperti berada dalam jepitan lengan kalajengking raksasa. Membantu di sebelah kiri mendapat ancaman, melayani pihak kanan pun nyawa bisa melayang. Lalu berdiri di tengah pada posisi netral akhirnya menjadi keharusan, meski pilihan seperti ini tak jarang masih sarat resiko.

“Ikut GAM sengsara ikut Indonesia sejahtera,” demikian sebuah baliho bercat merah putih terpampang di sebuah lapangan di tengah kota. Warga lagi-lagi dihadapkan pada sebuah pilihan. Seperti ancaman dengan pilihan hidup atau mati. Dan meski seandainya memilih hidup pun tetap akan mati juga, atau tetap hidup tapi dengan kondisi ekonomi yang kembang kempis dan serba pas-pasan dengan standart hidup di bawah garis kemiskinan. Makan nasi sambal sambil bermimpi bahwa kelak para petinggi Republik ini akan mensejahterakan rakyatnya.

Dan biarlah mimpi itu terbang tinggi, bersama Seulawah, DC-3, embrio Garuda Airways persembahan rakyat Aceh untuk Indonesia. Dan terus bermimpi agar kelak saat Seulawah kembali, ia membawa perubahan yang berarti, bagi rakyat yang telah dihancurkan oleh Tsunami, tapi masih memiliki harga diri. Dan setidaknya “Seulawah yang lain” sekali lagi dipersembahkan oleh Aceh, sebab Tsunami juga mengurangi sebagian hutang Republik yang bertumpuk yang entah kapan akan lunas terbayarkan. Sebuah “berkah” di balik bencana…? ***

1 comment:

Anonymous said...

Tulisan yang bagus
Lengkap... menyeluruh...
alurnya keren

Maaf, saya asal nyelonong
Tahu blog Anda dari Mas Johan - Sonora Palembang

Keep on writing ya!