Thursday, July 27, 2006

DUnia GEMetar, Reality Show di Nias



*Michael YUDHA Winarno*


LANGIT Gunungsitoli-Nias tersenyum cerah, jutaan bintang dan sebuah rembulan menghiasi angkasanya. Di teras rumah seorang pengusaha - pemilik toko bangunan, kami sedang ngobrol soal prospek ekonomi di Gunungsitoli.

Obrolan lalu juga mengarah pada persoalan tsunami dan pembangunan Nias kembali. “Nias ini tidak pernah maju, Pak. Dari saya kecil hingga sekarang hampir tidak ada perubahan yang berarti di Nias ini. Hanya Bung Karno Presiden Indonesia yang pernah mengunjungi Nias. SBY pun baru kemarin. Barangkali kalau tidak ada tsunami SBY juga tidak akan ke Nias,” katanya.

Secangkir kopi baru saja saya teguk. Sesaat mata saya sempat melirik jam di tangan, 23:20 wib. Tiba-tiba rumah bergetar hebat, kursi kosong di depan kami bergeser menjauh. Beberapa detik kemudian kami tersadar. Gempa! Kami langsung berlari ke luar rumah dan bumi semakin terguncang.

Pagar besi beton tiba-tiba roboh. Saya limbung dan bergerak merangkak di aspal jalan. Tiang-taing listrik mulai bertumbangan dan kabel-kabelnya meliuk-liuk seperti hendak menyambar kepala saya diiringi percikan api. Semuanya tiba-tiba gelap dan tanah tempat saya berpijak masih terguncang-guncang. Kepala saya mulai pusing dan gempa sepertinya belum mau berhenti. Teriakan histeris, gemuruh suara bangunan yang roboh dan bunyi berdebam semakin keras susul menyusul. Lima belas menit kemudian saya rasakan tanah berhenti bergetar. Sesaat saya langsung bangkit dan berlari menembus kegelapan sepanjang jalan sambil menghindari reruntuhan tiang dan kabel listrik yang tumbang.

Saya tidak tahu arah mana tetapi saya segera berbelok ke kiri ke arah jalan yang lebih tinggi mengikuti arah lari orang-orang yang panik. Rupanya mereka menuju bukit Lasara, tempat yang lebih tinggi. Saya terus berlari sambil mencoba menelepon dari HP tapi gagal. Beberapa kali getaran ringan masih terjadi saat sejumlah sms berisi informasi gempa hebat, SOS, saya kirimkan ke sejumlah kawan. Histeria dan panik massa mengiringi “pelarian” saya menuju bukit. Saya berhenti sesaat, menenangkan diri dan melihat jam; 23:50. Saya segera berbalik arah menuju kantor YEU di jalan Diponegoro dekat masjid Jami.

Tiba di depan kantor, rumah dua lantai itu yang juga kantor PKPA telah roboh. Dua orang kawan saya jumpai terduduk di tepi jalan dengan wajah ketakutan. Setelah memastikan bahwa semuanya selamat, dengan nekat saya putuskan untuk segera memasuki rumah dengan melewati jendela lantai dua yang posisinya sudah miring hingga hampir menyentuh aspal jalan.

Entah darimana keberanian itu muncul. Saya merasa harus menyelamatkan laptop dan kamera digital yang berisi data-data penting selama sebelas hari kunjungan saya di Nias ini. Berdua kami memasuki rumah yang telah berantakan. Saya meraba-raba kegelapan dengan cahaya biru dari layar HP. Akhirnya tiga laptop, dua ransel dan sebuah kamera digital berhasil kami selamatkan. Secepat kilat kami keluar lagi. Bertiga kami berjalan menuju masjid Jami sambil melakukan koordinasi singkat. Dua posko bencana kami tetapkan, masjid Jami dan bukit Lasara. Dua kali telepon dari Jogja kami respon dengan memberikan laporan pandangan mata soal gempa ini.

Satu jam lamanya kami berkeliling di atas sepeda motor dengan hati-hati memantau kondisi terkini. Kota gunungsitoli hancur dan lumpuh total. Dua titik kebakaran terlihat di pasar dan sebuah lagi di depan terminal. Kembali ke Masjid Jami kami lihat kerumunan orang semakin ramai. Kami berkordinasi lagi dan segera mengumpulkan makanan dari sejumlah toko di sepanjang jalan Diponegoro dengan seijin pemiliknya. Kami sebarkan sejumlah kardus biskuit, mi instan dan air mineral kepada warga yang berkerumun di halaman Masjid Jami, di sepanjang jalan ke arah bukit Lasara dan di halaman Masjid Agung. Hujan mulai mengguyur dan kami terus berkeliling kota.

Teriakan minta tolong masih terdengar di mana-mana. Hampir di setiap bangunan yang roboh terlihat upaya dua-tiga orang berusaha menyelamatkan anggota keluarganya yang tertimbun. Rintihan terdengar semakin pilu manakala daya upaya penyelamatan sepertinya sia-sia tanpa dukungan alat berat. Seorang ibu yang kami datangi meraung-raung sambil memukuli beton meneriaki nama suami dan anak-anaknya. Sampai di depan masjid, seorang nenek berdiri di dekat pagar sambil berteriak-teriak dengan bahasa setempat dan meraung-raung.

Saya beruntung, dalam hati saya benar-beanr merasa sebagai orang yang paling beruntung di muka bumi ini. Saya selamat dari bencana yang mengerikan dan saya masih sadar sehat walafiat! Sesaat saya pandangi langit yang gelap. Sebutir air mata meleleh dari sudut mata saya.

Kabar dari Sirombu belum juga muncul. Di sana, sebuah posko kami memberikan layanan kesehatan, water and sanitation, serta community developmnet paska tsunami. Tetapi entah bagaimana kabar kawan-kawan YEU dan relawan lokal di sana. Kami begitu mencemaskan kondisi mereka.

Tak terasa pagi menyambut. Hari baru tanpa mentari bersinar dan tanpa kokok ayam jantan. Langit kelabu dan Gunungsitoli berubah total. Mulai hari ini yang abadi adalah ketidakpastian dan perubahan itu sendiri. Saya pun tak pernah mengira. Tiga hari lalu masih di Sirombu, melihat pelangi senja hari di atas kepulauan Hinako yang eksotik. Sekarang, berdiri ditemani kedukaan dan kehancuran yang menjalar di setiap sudut kota Gunugsitoli.

Di Gunungsitoli, hari baru disambut oleh gempa-gempa susulan dan guyuran hujan. Sebuah sms masuk ke HP saya, “Oalah Indonesia… bencana terus… Piye nasibmu Yud? Masih di Nias?... Saya terdiam. Saya balas sms dari seorang sahabat itu dengan mengirim sms di dalam hati kepada Tuhan. “Oh Tuhan, engkau begitu mencintai diriku… semoga Engkau juga begitu mencintai Indonesia…”

Hujan lebat mengguyur, saya teringat bahwa Rabu kemarin seharusnya saya sudah ada di Jakarta lagi. Gempa susulan baru saja terjadi dan saya akhiri catatan ini karena baterai laptop habis. Tetapi semoga semangat Indonesia tidak pernah habis. Semoga... ***

[catatan ini saya buat berdasarkan pengalaman riil Gempa Nias, 28 Maret 2005 tengah malam, kebetulan saya sedang bertugas di Gunungsitoli-Nias pada saat gempa terjadi]

2 comments:

Anonymous said...

Ini adalah salah satu "catatan saksi mata" yang pernah saya temukan tentang gempa Nias. Trims, Bung Yudha telah mendokumentasikannya dengan baik sekali. Saya juga di sana ketika itu.

Anonymous said...

bukannya gempa d nias tgl 28 Maret 2005??