Thursday, July 27, 2006

Tanah Simpang Semadam, Longsoran Duka Negeri Pengungsi


* Michael YUDHA Winarno *


Kantung mata Kalpin HT Gaol tampak cekung menghitam, sorot matanya redup dan pandangannya menerawang entah tertuju ke mana. Seluruh tubuhnya dibungkus pakaian hitam lusuh dengan tambal sulam pada beberapa bagian. Tapak kakinya berteman sandal jepit kumal berjalan gontai perlahan. Sepintas pandang ia mirip mayat yang bangkit dari kubur.


Petani tamatan sekolah dasar itu terlihat di antara seratus lima puluh kepala keluarga pengungsi yang antre menerima bantuan sembako yang sedang digelar CODIA di halaman Paroki Lawe Desky, Aceh Tenggara, saat libur Idul Fitri awal November lalu. Bersama lebih dari delapan ratus keluarga lainnya yang tinggal di wilayah Simpang Semadam, Kalpin berusaha menerima kenyataan yang telak membuat dirinya tersungkur. Kehilangan rumah dan harta benda, meski berat, barangkali bisa direlakan pada akhirnya. Tetapi kehilangan istri tercinta, Arlina Br Sianipar [28 tahun] dan Maria [5 tahun] gadis cantik buah hatinya bersama si bungsu yang lucu Ari [3 tahun] dalam waktu bersamaan jelas menjadi kenyataan yang begitu berat dihadapi.

Gulita malam mimpi buruk yang dirobek oleh raksasa lidah api dari sebuah kilang padi pertengahan Oktober lalu nyata masih jelas dirasakannya. Menyusul serbuan mendadak tanah longsor dari atas perbukitan. Bahkan meski tigapuluh hari telah berlalu. Trauma masih menghantui hari-hari Kalpin dan membuat dirinya semakin kurus hanyut dalam stress berkepanjangan. Ia bahkan tak mampu bercerita banyak tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana situasi saat longsoran tanah batu lumpur bercampur gelondongan kayu meluncur cepat ibarat air terjun yang ganas menghajar dan melumat rakus segala rupa mahkluk dan barang yang ada di bawahnya. “Maaf Pak, istri dan dua anak saya meninggal, rumah harta benda hilang, saya tak tahu mau apa lagi, saya hanya petani biasa, semua habis, saya senang Bapak datang memberi bantuan tapi saya tidak bisa cerita, saya masih trauma, saya ingin sendirian dulu,” ujarnya lirih kepada CORDIA yang mengajaknya bercerita.

Kini, pemukiman padat itu rata oleh tanah. Hampir empat ribu jiwa menjadi pengungsi dan 844 keluarga kehilangan rumah beserta seluruh harta benda mereka. Ratusan anak sekolah terpaksa menambah hari libur lebaran mereka sebab tiga sekolah tempat mereka belajar hilang ditelan tanah longsor. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat memang telah memberikan bantuan darurat berupa tenda, sembako, layanan medis, dan air bersih. CORDIA sendiri sebagai anggota Caritas Internationalis membagikan famili kits berupa paket beras, ikan sarden, mis instant, susu, biskuit, air mineral dan selimut. “Bantuan CORDIA ini merupakan paket bantuan terlengkap dan terbanyak yang diterima keluarga pengungsi dibandingkan bantuan dari NGO lain. Tapi yang tak kalah penting juga memperhatikan nasib anak-anak dan bagaimana sekolah mereka setelah bencana ini,” ujar Sitohang, kepala sekolah SMP St. Joseph yang bertindak sebagai koordinator posko lapangan untuk distribusi bantuan.

Perihal distribusi bantuan bukannya tanpa masalah, banyak keluarga pengungsi yang belum tersentuh bantuan sama sekali. Kalaupun mereka mendapatkan bantuan, jumlahnya sangat minim jika dibandingkan dengan keluarga pengungsi lainnya. Ada diskriminasi dalam proses distribusi bantuan. Pemerintah setempat rupanya lebih memperhatikan keluarga pengungsi dari umat beragama mayoritas. “Dua minggu setelah kejadian ada truk besar penuh muatan barang bantuan dari NU [Nahdlatul Ulama]. Truk tersebut sudah siap menurunkan dan membagi muatannya di tempat kami, tetapi seseorang tiba-tiba memerintahkan truk itu pergi dan membawanya ke tempat lain sambil mengatakan bahwa ini daerah Kristen, bantuan jangan dibagikan di sini,” ujar Yetieli Zaboto, Sekretaris Desa Lawe Tua.

Hal senada juga dibenarkan oleh Pendeta Lambok Gurning dari Gereja HKBP Simpang Semadam. “Sebelum bencana ini terjadi hubungan antar pemeluk agama di daerah ini tidak ada masalah, tapi gara-gara diskriminasi distribusi bantuan bencana, kami rasakan mulai ada ketegangan hubungan antarumat bergama. Bahkan ada informasi yang beredar di kalangan pengungsi bahwa akan ada relokasi warga berdasarkan agama,” katanya saat ditemui CORDIA di lokasi bencana. Jika bantuan yang diberikan dari luar kepada pengungsi justru menimbulkan masalah baru dan kerentanan sosial, hal ini perlu diantisipasi agar hubungan antar umat beragama tidak semakin buruk atau bahkan meledak menjadi konflik horizontal. “Bantuan seharusnya diberikan tanpa membedakan agama dan asal usul seseorang,” tegas Pendeta Lambok.

Pengungsi korban longsoran tanah umumnya bekerja sebagai petani dan kini mereka mengharapkan bantuan benih dan alat-alat pertanian baru untuk membersihkan area persawahan mereka yang rusak oleh banjir bercampur longsoran. “Rumah kami hilang ditelan tanah, sawah kami juga. Kami butuh rumah agar bisa tinggal dengan tenang dan sawah untuk menghidupi anak,” ujar Anita Br Simanjuntak yang kehilangan suami dan ayah mertuanya. Dari assessment yang dilakukan CORDIA, tiga kebutuhan utama untuk memulihkan kehidupan warga yaitu bibit tanaman dan alat-alat pertanian untuk perbaikan sawah, rehabilitasi sekolah dan paket bantuan pendidikan untuk anak, serta pembangunan kembali rumah warga yang hilang dan hancur.

Selain memberikan bantuan CORDIA juga mengundang tokoh masyarakat, pemuka agama dan perwakilan pengungsi dalam sebuah pertemuan untuk mendapatkan gambaran lengkap persoalan apa saja yang muncul paska bencana dan kebutuhan yang sebenarnya paling diinginkan oleh pengungsi. Pada akhirnya terungkap bahwa belum ada semacam komunitas atau lembaga di tingkat masyarakat sipil yang mampu bergerak secara swadaya dan melakukan inisiatif-inisiatif untuk memperjuangkan nasib dan kepentingan mereka.

Dominasi pemerintah dan kebijakan yang mereka keluarkan selama ini sama sekali tidak mewakili aspirasi warga yang saat ini sedang menjalani kehidupan mereka sebagai pengungsi. Pemerintah bahkan seperti menutup mata terhadap penebangan hutan illegal yang dilakukan oleh sejumlah pengusaha. “Puluhan tahun saya tinggal di sini dan sejak kecil saya lihat truk-truk besar mengangkut kayu gelondongan naik turun melalui jalan ini. Sebenarnya penebangan pohon yang diganti dengan pohon kemiri oleh warga tidak sebanding dengan penebangan yang dilakukan orang-orang itu yang pasti bekerjasama dengan pemerintah,” ujar Sitanggang, salah seorang warga Lawe Desky.

CORDIA sendiri menempuh perjalanan dua jam mendaki bukit dan melihat betapa dahsyat dan mengerikannya jalur longsoran tersebut. “Kalau kita tengok kondisi di atas sini, dan kayu gelondong besar-besar seperti ini bekas tebangan pastilah yang bikin longsor para bos penebang itu,” ujar Simon, pemuda setempat yang memandu CORDIA mendaki bukit hingga puncak pertama. Hal yang paling mengerikan, setelah menempuh perjalanan lebih dari lima kilometer ke atas bukit, masih belum terlihat bagaimana rupa ujung longsoran tersebut.

Melihat lokasi bencana dan bentang alam wilayah Simpang Semadam dari puncak bukit, seolah melihat keagungan lukisan Sang Pencipta. Tetapi alam juga seperti hendak mengirimkan pesannya, menyatakan kepada warga bumi bahwa dirinya tidak layak untuk dieksploitasi begitu saja. Sebab ia juga hidup dan berhak untuk bertumbuh-kembang. Dan dari atas puncak bukit ini, Aceh Tenggara adalah Indonesia lain yang indah dalam pandangan jauh di mata tetapi menyedihkan dalam kenyataan sehari-hari. Sebab di ujung kaki bukit ini, ribuan pengungsi baru tiba-tiba terlahir, menemani jutaan pengungsi lain yang terbentang dari Sabang oleh tsunami hingga Nabire-Papua karena gempa.

Sayup-sayup saya teringat pekik sebuah lagu perjuangan, “Dari Sabang sampai Merauke berjajar [tenda-tenda], sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia…”. * * *

1 comment:

Anonymous said...

Terima kasih atas karyanya di tanah kelahiran saya. Tuhan memberkati!